AS Krisis Keuangan, Pasar Keuangan Domestik Perlu Siapkan Antisipasi

KATADATA
bank dbs
Penulis: Muhammad Taufik - Tim Publikasi Katadata
19/5/2023, 11.30 WIB

Pasar keuangan Amerika Serikat (AS) menghadapi ketidakstabilan selama kuartal pertama tahun ini. Usai mengalami disinflasi di awal tahun, negeri Paman Sam justru terganjal pembahasan pembayaran utang yang jatuh tempo. Kondisi tersebut akan menjadi tantangan utama bagi pasar obligasi Tanah Air.

Menurut Investopedia, disinflasi adalah situasi perlambatan sementara dari laju inflasi harga dan gambaran saat tingkat inflasi berkurang sedikit dalam jangka pendek. Disinflasi tidak dianggap sebagai masalah karena harga tidak benar-benar turun. Selain itu, disinflasi tidak selalu menandakan adanya perlambatan ekonomi.

Gubernur Bank Sentral AS, Jerome Powell mengatakan bahwa proses disinflasi di AS menandakan bahwa rencana kenaikan suku bunga bekerja sebagaimana mestinya. Powell menganggap disinflasi merupakan kemajuan di tengah ancaman resesi ekonomi yang akan melanda dunia.

“Kenyataannya kami bertindak berdasarkan data. Jadi jika kita terus melihat data, misalnya pasar tenaga kerja yang kuat atau inflasi yang kembali meninggi, itu akan membuat kami kembali menaikkan suku bunga dan bisa saja lebih tinggi dari yang diprediksi sebelumnya," ujar Powell dikutip dari CNBC Indonesia (8/2).

Menurut riset Bank DBS bertajuk Insights: Fixed Income, proses disinflasi di Amerika Serikat, biasanya akan berdampak pada iklim bisnis dan kondisi tenaga kerja. Namun, menurut riset DBS, pada saat ini situasi tenaga kerja di AS masih menunjukkan tren positif, meski dapat berubah sesuai dengan perkembangan data terbaru.

“Perkembangan ini menunjukan bagaimana konsumsi masih bertahan terutama di sektor jasa meskipun suku bunga telah dinaikan dengan cukup agresif. Secara historis, kondisi pasar tenaga kerja yang positif memberikan dampak positif kepada konsumsi,” tulis riset tersebut.

Pascadisinflasi di awal tahun, Amerika juga dihadapkan dengan ancaman default. Hal ini terjadi akibat alotnya pembahasan plafon utang pada April lalu. Oleh sebab itu, pasar pun khawatir lantaran surat pemerintah AS alias US Treasury (UST) yang sudah terkenal sebagai aset paling aman, kini menjadi kejutan di pasar.

Meski begitu, ancaman default ini diperkirakan tidak akan berimbas terlalu jauh bagi pasar obligasi domestik. Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai, efek ancaman itu ke dalam negeri terbatas.

Ia melihat kondisi perbankan di dalam negeri masih relatif stabil karena ditopang oleh bank-bank besar. "Meski demikian perlu antisipasi yang kuat dalam menghadapi krisis keuangan di AS ini. Yang terpenting adalah menjaga optimisme pasar, termasuk menjaga suku bunga BI agar investasi bisa bergerak lebih baik," kata Rizal, Selasa (2/5) dikutip dari Katadata.co.id.

Sementara itu, dalam riset yang sama, Bank DBS mengungkapkan demi menjaga stabilitas perekonomian domestik, pemerintah akan mempertahankan momentum penurunan inflasi domestik. Bank Indonesia juga memberikan indikasi kebutuhan menaikkan suku bunga acuan kian berkurang.

“Hal ini terefleksi dari perkembangan inflasi domestik, meskipun headline inflation mengalami kenaikan dengan tumbuh 5,47 persen Year on Year (YoY) di Februari 2023, namun core inflation melambat dengan tumbuh sebesar 3,09 persen YoY,” tulis riset itu.

Bank DBS beranggapan bahwa fluktuasi di pasar global masih menjadi salah satu tantangan besar untuk pasar obligasi domestik. Namun, riset itu juga menuliskan bahwa perkembangan situasi perekonomian di dalam negeri menunjukkan adanya keseiringan antara stabilitas dan ekspektasi pasar.

Kendati demikian, antisipasi mesti terus dilakukan, mengingat pergerakan yield UST sejauh ini menunjukkan pasar masih menunggu perkembangan data lebih lanjut maupun prospek kebijakan moneter untuk waktu yang akan datang. Untuk saat ini level ketidakpastian cenderung tinggi, dan pasar akan cenderung bermain secara defensif atau wait and see.