Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyepakati kolaborasi dalam melawan diskriminasi terhadap kelapa sawit. Sebagai informasi, diskriminasi tersebut dilakukan oleh Uni Eropa melalui rencana penerbitan beberapa aturan dagang bertemakan lingkungan.
Jokowi mencatat salah satu bentuk kolaborasi tersebut adalah misi bersama pemerintah Indonesia dan Malaysia ke Parlemen Uni Eropa di Brussel, Belgia. Menurutnya, kolaborasi seperti ini harus terus diperkuat.
"Jangan sampai komoditas-komoditas yang dihasilkan oleh Malaysia, oleh Indonesia didiskriminasi di negara lain," kata Jokowi dalam saluran resmi Buletin TV3, Kamis (8/6).
Anwar menyampaikan inisiatif perlawanan terhadap diskriminasi tersebut dilakukan oleh Jokowi. Ia menilai perlawanan terhadap diskriminasi tersebut penting untuk menjaga perekonomian Indonesia dan Malaysia.
Anwar mengatakan tujuan kolaborasi tersebut bagi Malaysia adalah untuk melindungi seluruh perkebunan kelapa sawit, khususnya perkebunan kecil. "Kedua menteri pertama kalinya satu suara," kata Anwar.
Diskriminasi yang dimaksud adalah penerbitan dua aturan di Uni Eropa, yakni Renewable Energy Directive atau RED dan Deforestation Regulation atau EUDR. Keduanya akan berlaku pada akhir 2024 atau 18 bulan ke depan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan sebagian komoditas nasional yang berpotensi terkena kebijakan EUDR adalah kopi, kakao, furnitur, cpo, dan komoditas berbasis metan seperti sapi. Aturan tersebut sejauh ini hanya mengatakan bahwa seluruh produk hasil hutan harus melalui proses verifikasi dan penandaan geografis.
Namun Airlangga menilai kebijakan tersebut tidak memiliki standar yang jelas. Dia mengatakan komoditas yang diperdagangkan antara Indonesia dan Eropa sekitar Rp 90 triliun per tahun akan terdampak.
Pasalnya, EUDR tidak mengakui standar yang telah diterapkan oleh pemerintah Indonesia, seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu untuk furnitur maupun Indonesian Sustainable Palm Oil untuk CPO.
Selain itu, Airlangga menyampaikan EUDR tidak mengakui sertifikasi CPO lain, seperti Malaysia Sustainable Palm Oil maupun Roundtable Sustainable Palm Oil.
Oleh karena itu, Airlangga menyatakan kebijakan EUDR bersifat diskriminatif dan punitif terhadap Indonesia dan Malaysia. Menurutnya, penerapan EUDR dapat berdampak pada 15 juta petani sawit di Indonesia dan 700.000 petani sawit di Malaysia.