CISDI: Penundaan Cukai Minuman Berpemanis Perbesar Risiko Kesehatan

ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.
Pekerja memanen tebu di persawahan Desa Peganjaran, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (12/7/2023). Kementerian Pertanian menargetkan swasembada gula tercapai pada tahun 2024 menyusul luas area tebu nasional pada tahun 2023 berdasarkan data awal Maret mencapai 509.608 hektare dengan produksi tebu mencapai 37.463.341 ton.
Penulis: Lona Olavia
27/7/2023, 21.13 WIB

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyayangkan keputusan pemerintah menunda penerapan cukai minuman berpemanis hingga tahun 2024. Sebab penundanaan pengenaan cukai minuman berpemanis berpotensi memperbesar risiko kesehatan yang dialami masyarakat.

Keputusan pemerintah itu diungkapkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani dalam konferensi pers, Senin (24/7). Dalam keterangannya, Askolani mengatakan bahwa penundaan pengenaan cukai minuman berpemanis dikarenakan tiga alas an.

Salah satu alasan pemerintah adalah mempertimbangkan kondisi industri makanan dan minuman yang saat ini belum stabil akibat dampak pandemi Covid 19.

CISDI menilai alasan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih karena pandemi tidak relevan dengan penundaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Sebab, cukai MBDK yang dipungut tidak berasal dari kebutuhan pokok, melainkan minuman berpemanis, seperti teh, susu berpemanis, soda, hingga minuman serbuk dalam kemasan.

“Tahun lalu pemerintah juga menunda dengan dalih yang sama. Padahal kondisi kesehatan juga erat hubungannya dengan kondisi ekonomi. Tingginya beban biaya kesehatan sebesar Rp 108 triliun yang diakibatkan penyakit terkait konsumsi gula, justru seharusnya membuat cukai MBDK menjadi kebijakan yang penting untuk segera diterapkan di Indonesia,” ungkap Calista Segalita, Project Lead Food Policy CISDI dalam keterangan resmi, Kamis (27/7).

Calista mengatakan, perbincangan mengenai cukai MBDK sudah dimulai sejak 2016. CISDI selama dua tahun terakhir sudah melakukan berbagai upaya untuk menyampaikan pentingnya cukai minuman berpemanis. Antara lain lewat kegiatan riset dan advokasi, diskusi kelompok terarah dengan pemangku kebijakan, kampanye publik, dan petisi yang sudah didukung 16 ribu lebih tanda tangan. Petisi juga sudah disampaikan kepada Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada November 2022.

“Cukai MBDK bahkan sudah masuk dalam Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023. Tapi, lagi-lagi pemerintah menunda pengesahannya tahun ini. Pemerintah seolah abai dengan fakta yang menunjukkan konsumsi minuman berpemanis terus meningkat drastis, mencapai 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir,” kata Calista.

Calista menambahkan kenaikan konsumsi minuman berpemanis ini sejalan dengan peningkatan signifikan pada prevalensi obesitas dan diabetes serta penyakit tidak menular lain di Indonesia. Dampaknya, beban kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular juga meningkat. Salah satu faktor yang berkontribusi pada peningkatan beban ini adalah konsumsi minuman manis, khususnya MBDK.

“Konsumsi MBDK berlebih terbukti berisiko meningkatkan kejadian obesitas, penyakit diabetes, hipertensi, kerusakan liver dan ginjal, penyakit jantung, beberapa jenis kanker dan gizi kurang. Karena itu pembatasan konsumsi MBDK, terutama melalui kebijakan cukai, pengaturan pemasaran, pembatasan ketersediaan MBDK di sekolah dan tempat publik semakin mendesak diberlakukan,” kata Calista.

 

Apalagi implementasi kebijakan cukai di lebih dari 49 negara juga telah terbukti efektif menurunkan tingkat konsumsi MBDK, serta mendorong formulasi ulang produk menjadi lebih sehat. Dalam jangka panjang, penerapan cukai minuman berpemanis berperan krusial dalam menurunkan angka obesitas, diabetes, dan risiko kesehatan lain yang berkaitan.

Sedangkan menurut estimasi Kementerian Keuangan, cukai MBDK berpotensi meningkatkan pemasukan negara sekitar Rp 2,7 triliun hingga Rp 6,25 triliun per tahun. Potensi tambahan penerimaan negara ini dapat digunakan untuk membantu pembiayaan upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat di Indonesia yang alokasi anggarannya selama ini masih sangat minim, khususnya terkait penyakit tidak menular seperti diabetes dan obesitas.

Oleh karena itu, berdasarkan catatan tersebut, CISDI menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah:

  1. Segera memberlakukan pengenaan cukai untuk produk MBDK minimal sebesar 20% berdasarkan kandungan gula untuk menurunkan konsumsi MBDK masyarakat hingga 17,5%.
  2. Mengedukasi masyarakat tentang bahaya mengkonsumsi minuman atau makanan berpemanis dengan kadar tinggi.
  3. Mengenakan kebijakan cukai MBDK secara serentak ke semua skala usaha.
  4. Mempertajam peraturan mengenai pelabelan informasi gizi pada produk MBDK agar masyarakat sadar bahaya bila mengkonsumsinya terlalu banyak.