Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi Brigjen Pol. Asep Guntur Rahayu mundur dari jabatannya buntut polemik yang timbul usai operasi tangkap tangan (OTT) di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan Asep juga mundur dari posisi Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.
"Betul, informasi yang kami terima bahwa yang bersangkutan akan mengajukan surat dimaksud kepada pimpinan," kata Ali Fikri seperti dikutip dari Antara, Senin (31/7).
Ali mengatakan meski sudah menerima surat pengunduran namun status Asep masih belum berubah. Surat itu kata Ali masih harus diproses dan dibahas oleh jajaran pimpinan KPK.
“Hal tersebut tentunya menjadi keputusan pimpinan. Apakah permohonan tersebut diterima atau ditolak," ujar Ali lagi.
Sebelumnya pada Rabu (26/7) KPK menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya (Marsdya) TNI Henri Alfiandi (HA) beserta empat orang lainnya sebagai tersangka . Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan Henri diduga terlibat dalam suap pengadaan proyek alat deteksi korban reruntuhan senilai Rp 88,3 Miliar.
Penetapan tersangka mendapat kritik dari Markas Besar TNI lantaran saat penetapan tersangka ia masih berstatus perwira aktif. Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsdya Agung Handoko mengatakan personel TNI yang diduga bersalah dan korupsi harus ditindak dengan mekanisme militer.
"Kami keberatan kalau ditetapkan sebagai tersangka. Kami ada aturan sendiri di militer," kata Agung dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (28/7).
Agung mengatakan sebenarnya TNI telah menyambangi KPK untuk menggelar rapat gelar perkara. Meski demikian, komisi antirasuah ternyata memutuskan memberikan status tersangka kepada Henri dan Letkol Afri Budi Cahyanto Koorsmin Kabasarnas RI.
KPK merespon kritik Mabes TNI dengan menyampaikan permintaan maaf. Dalam konferensi pers yang digelar pada hari yang sama Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengakui terdapat kelalaian dalam prosedur penetapan tersangka.
"Kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan, bahwasanya manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kami yang tangani," kata Johanis.
Polemik Penetapan Tersangka
Pernyataan Johanis langsung menuai kontroversi. Bukan hanya persoalan permintaan maaf, pimpinan KPK disebut lepas tangan dengan menyatakan kekhilafan ada di tangan penyelidik. Padahal sesuai dengan mekanisme di KPK, gelar perkara sebelum penetapan status tersangka dihadiri pula oleh unsur pimpinan.
Mantan Penyidik KPK Novel Baswedan mengkritik sikap pimpinan KPK dalam penanganan kasus korupsi Basarnas. Terlebih kemudian wakil ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan bahwa pengumuman Henri sebagai tersangka sebenarnya tak diikuti dengan kebijakan mengeluarkan surat perintah penyidikan atau sprindik.
Selain itu Novel juga mengkritik sikap pimpinan KPK yang ia nilai menyalahkan anggota dalam penetapan Henri sebagai tersangka. Ia menyebut setiap penanganan kasus di KPK semestinya telah melalui proses bersama pimpinan dan pejabat struktural KPK sehingga tidak bisa disebut hanya kesalahan penyidik..
“Jelas yang salah adalah pimpinan, tapi menyalahkan anggotanya. Khilafnya penyelidik soal apa?’ ujar Novel lagi.
Terkait polemik yang timbul usai operasi tangkap tangan tersebut, Ali menegaskan pimpinan KPK mendukung penuh langkah tim penyidik KPK dalam penindakan terhadap perkara dugaan korupsi di Basarnas.
"Penting juga kami sampaikan bahwa pimpinan mendukung penuh langkah dan upaya yang telah dilakukan tim penyelidik dan penyidik dalam rangkaian proses penanganan dugaan tindak pidana korupsi di Basarnas ini," ujar Ali Fikri.
Adapun kasus korupsi Basarnas terungkap setelah penyidik lembaga antirasuah tersebut melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7) di Cilangkap dan Jatisampurna, Bekasi. Namun usai kritik dari TNI, pimpinan KPK mengakui anak buahnya melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam penetapan tersangka terhadap anggota TNI.
Pernyataan itu diungkapkan setelah rombonga Kapuspen TNI Laksamana Muda Julius Widjojono didampingi Agung Handoko beserta jajaran mendatangi gedung KPK.
Johanis Tanak merujuk pada Pasal 10 UU No 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebut pokok-pokok peradilan itu diatur ada empat lembaga, peradilan umum, militer, peradilan tata usaha negara dan agama. Ia pun mengatakan, berangkat dari kasus tersebut, pihaknya akan berbenah dan lebih berhati-hati dalam penanganan kasus korupsi khususnya yang melibatkan anggota TNI.
Jokowi Minta Koordinasi
Kisruh penanganan perkara korupsi Basarnas membuat presiden Joko Widodo tak tinggal diam. Ia meminta agar KPK dan Mabes TNI dapat berkoordinasi dalam penanganan kasus dugaan korupsi penerimaan suap yang melibatkan Kepala Basarnas.
"Ya itu menurut saya masalah koordinasi ya, masalah koordinasi yang harus dilakukan. Semua instansi sesuai dengan kewenangan masing masing, menurut aturan," kata Presiden Jokowi di Jakarta, Senin (31/7).
Menurut Jokowi bila hal tersebut dilakukan maka persoalan antara KPK dan Mabes TNI dapat diselesaikan. Lebih jauh ia mengatakan akan mengevaluasi menyeluruh soal penempatan perwira TNI aktif dalam sejumlah jabatan sipil di kementerian dan lembaga usai terungkapnya kasus korupsi Basarnas.
"Semuanya akan dievaluasi, tidak hanya masalah itu, semuanya, karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi," kata Presiden
.