Mahkamah Agung mengabulkan permohonan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Uji materi diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terhadap Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang penghitungan keterwakilan bakal caleg perempuan di legislatif.
"Mengabulkan permohonan keberatan dari para pemohon keberatan," demikian bunyi amar putusan MA seperti dikutip dari Rilis Perkara Nomor 24 P/HUM/2023 seperti dikutip Rabu (30/8).
Putusan tersebut diputus pada Selasa (29/8) oleh majelis hakim yang diketuai Irfan Fachruddin. Adapun dua anggota majelis adalah Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunadi.
Pasal yang dimohonkan uji materi itu mengatur penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan, yang dalam hal perhitungan itu menghasilkan angka pecahan. Pasal tersebut menyebut bila desimal di bawah 50 maka dilakukan pembulatan jumlah caleg mengikut jumlah bawah.
Para pemohon menilai pasal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Pasal itu membuat keterwakilan perempuan di parlemen berkurang.
Dalam gugatannya, pemohon meminta pasal a quo tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan pembulatan ke atas dalam hal penghitungan menghasilkan angka pecahan. Para pemohon terdiri atas Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib.
Para pemohon mendaftarkan uji materi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 ke MA pada 5 Juni 2023. Permohonan uji materi itu terdata masuk pada tanggal 13 Juni 2023 dan terdistribusi pada tanggal 7 Agustus 2023. Dengan demikian, proses pemutusan Perkara Nomor 24 P/HUM/2023 tersebut selama 23 hari.
Soal potensi berkurangnya keterwakilan perempuan di parlemen ini sebelumnya disorot oleh Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat. Ia menyebut pemenuhan keterwakilan 30 persen perempuan dianggap semakin riskan lantaran ada potensi tidak semua partai politik menyerahkan daftar caleg dalam jumlah maksimal kursi yang dimungkinkan di tiap dapil.
Sebagai contoh untuk jumlah kursi 10, partai politik bisa saja mencalonkan 8 orang sehingga mengurangi kuota perempuan yang diajukan. Dengan konsep pembulatan ke bawah maka pada dapil yang memberlakukan 8 caleg nilai 30 persen dari jumlah tersebut adalah 2,4. Dengan begitu hanya akan ada dua calon legislatif perempuan yang diajukan.
Menurut Lestari keberadaan pasal 8 menunjukkan rendahnya komitmen keterwakilan perempuan di parlemen oleh penyelenggara pemilu dan pemangku kebijakan. Karenanya, Lestari khawatir upaya sejumlah pihak untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen akan kendur.