Pemerintah Permudah Izin Pendirian Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik

ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/Spt.
Manager PLN UP3 Tegal Aditya Darmawan (kanan) menunjukkan aplikasi PLN Mobile di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Kantor PLN Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (2/8/2023).
Penulis: Nadya Zahira
25/9/2023, 21.32 WIB

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memberi kemudahan dalam mendapatkan persetujuan lingkungan untuk pengusaha Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan M.P. Kementerian ESDM, Dwi Nugroho mengatakan hal tersebut dilakukan untuk mendorong ekosistem Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). 

Menurut Dwi Nugroho saat ini sudah ada kerja sama dengan lembaga terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan PT PLN (Persero).

“Jika sebelumnya perizinan SPKLU termasuk risiko Menengah Tinggi, kini pengurusan izin SPKLU masuk ke dalam kegiatan tingkat risiko Menengah Rendah," ujar Dwi Nugroho melalui keterangan resmi, Senin (25/9).

Nugroho menjelaskan untuk bisa mendapatkan persetujuan lingkungan untuk SPKLU cukup mudah. Pelaku usaha hanya perlu mengirimkan semua informasi dan persyaratan ke sistem Online Single Submission (OSS) ke sistem AMDALnet. 

Selanjutnya, sistem AMDALnet tersebut secara otomatis akan mengedit dokumen lingkungan yang diperlukan untuk kegiatan SPKLU. Adapun form UKL-UPL standar untuk SPKLU juga tersedia di sistem ini. 

“Kemudian, dokumen ini akan dikirimkan ke sistem  Online Single Submission Risk Based Approach (OSS RBA) untuk memenuhi persyaratan dasar penerbitan izin usaha,” kata Dwi lagi.

OSS RBA atau Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah perizinan berusaha yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan kegiatan usahanya yang dinilai berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha. Dwi mengatakan persetujuan Lingkungan dan Perizinan Berusaha dapat diterbitkan secara otomatis melalui sistem OSS RBA. 

Selanjutnya, proses tersebut dilakukan melalui sistem informasi yang secara cepat dengan Service Level Agreement (SLA) waktu layanan paling lama sekitar 2 jam. Untuk memungkinkan penerbitan persetujuan lingkungan dan perizinan berusaha dalam kegiatan SPKLU, KLHK dan Kementerian Investasi/BKPM telah mengintegrasikan sistem Amdalnet ke dalam sistem informasi OSS RBA.

“Kementerian ESDM terus mendorong peningkatan titik charging station atau SPKLU. Penambahan SPKLU tersebut diperbanyak untuk mendukung kelancaran dan kenyamanan pengguna kendaraan listrik,” kata Dwi. 

Selain itu, Nugroho menyatakan bahwa data realisasi SPKLU terbaru yang terdaftar di Direktorat Teknik dan Lingkungan Kementerian ESDM saat ini berjumlah 842 unit di 488 lokasi. Data ini gabungan antara SPKLU yang dikelola PT PLN (Persero), instalasi privat di lokasi publik, dan stasiun pengisian kendaraan umum. 

Pengusaha SPKLU Minta Tarif Isi Baterai Kendaraan Listrik Dinaikkan

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Pengisian Kendaraan Listrik Indonesia (APPKLI) meminta agar pemerintah menaikkan tarif listrik untuk stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). Kenaikan diharapkan dari Rp 2.466 per kilowatt hour (kWh) menjadi Rp 4.000-5.000 kWh. 

Dewan Penasihat APPKLI, Abdul Rahman Elly, menganggap tarif jual listrik pengisian SPKLU saat ini masih belum optimal. Hal itu karena pelaku usaha harus menunggu hingga enam tahun untuk mendapatkan balik modal dari investasi pembangunan SPKLU fast charging maupun ultrafast charging. 

Hitungan tersebut sudah memasukan insentif biaya layanan paling banyak Rp 25.000 untuk SPKLU fast charging dan SPKLU ultrafast charging paling banyak Rp 57.000 untuk satu kali pengisian. Adapun biaya investasi pengadaan SPKLU fast charging senilai Rp 300-600 juta per unit dan Rp 700 juta-1 miliar untuk satu unit SPKLU ultrafast charging. 

Dengan tarif jual listrik Rp 2.467 per kWh, kata Rahman, pelaku usaha saat ini hanya mendulang untung sekira Rp 865 per Kwh dari penjualan listrik SPKLU ke pelanggan.

“Kami beli listrik dari PLN Rp 1.600 per Kwh, ya jadi selisihnya minim, tarif Rp 2.466 per kWh itu masih terlalu murah," kata Rahmad kepada Katadata.co.id, Selasa (1/8).

Rahman menjelaskan, jika pelaku usaha diberi kewenangan untuk menjual tarif listrik SPKLU hingga Rp 4.000 sampai Rp 5.000 per kWh, maka potensi balik modal hanya butuh waktu paling lama empat tahun.

Reporter: Nadya Zahira