Deret Alasan MK Tolak Gugatan 3 Partai Pengusung Gibran jadi Cawapres

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/tom.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kiri) bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh (kanan) memimpin jalannya sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/9/2023).
Penulis: Ade Rosman
16/10/2023, 14.51 WIB

Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tiga gugatan berbeda yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda dan Partai Gerindra. Dalam Gugatan itu ketiga partai meminta hakim konstitusi menguji pasal 169 huruf q dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum. 

Pada perkara bernomor 29/PUU-XXI/2023, PSI meminta MK menurunkan usia calon presiden dan calon wakil presiden menjadi 35 tahun dari sebelumnya 40 tahun. Sedangkan dalam gugatan Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Garuda dan gugatan Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan kader Gerindra pemohon tidak mempermasalahkan usia minimal 40 tahun namun dengan penambahan frasa atau sudah berpengalaman dalam menjadi kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. 

Dalam putusan untuk ketiga perkara Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman dalam persidangan mengatakan pokok permohonan yang diajukan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. "Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Anwar dalam sidang yang berlangsung di gedung MK, Senin (16/10). 

Terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari 2 hakim MK untuk ketiga perkara yaitu berasal dari Suhartoyo dan M Guntur Hamzah.  Dalam pertimbangannya, Guntur mengatakan bahwa proses demokrasi tidak semestinya dibatasi oleh usia. Ia menyebut calon pemimpin bisa saja berasal dari calon yang berusia lebih muda selama telah melewati proses dari partai politik. 

Aksi dukung Mahkamah Konstitusi (ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/tom.)

Apa saja yang menjadi pertimbangan hakim menolak putusan yang diajukan oleh tiga partai? 

Alasan MK Menolak Gugatan PSI 

Dibacakan Hakim MK Saldi Isra, terdapat beberapa alasan mengapa MK menolak gugatan yang dijaukan PSI.. Pertama, pilihan pengaturan norma pasal 169 q UU 7/2017 tidak melampaui kewenangan pembuat Undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan serta tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945.

Para pertimbangan kedua, Saldi mengatakan jika pasal 169 huruf q pada UU 7/2017 sebagaimana didalilkan para pemohon bertentangan dengan moralitas rasionalitas dan ketidakadilan intolerable sebab diskriminatif terhadap warga negara Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun maka hal sama seharusnya juga berlaku dengan pembatasan usia 35 tahun. Saldi mengatakan MK berpendapat bahwa pembatasan usia 35 tahun juga bisa dinilai sebagai bentuk pelanggaran moral ketidakadilan dan diskriminasi bagi yang berusia di bawah 35 tahun atau batasan-batasan usia tertentu di bawah 35 tahun bila hal sama diterapkan dengan pembatasan 40 tahun. 

"Terutama bagi warga negara yang sudah memiliki hak untuk memilih yaitu warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 tahun atau lebih sudah kawin atau sudah pernah kawin," kata Saldi.

Berdasarkan hal tersebut, dalam hal itu, Mahkamah tidak dapat menentukan batas usia minimal bagi calon presiden dan calon wakil presiden karena dimungkinkan adanya dinamika di kemudian hari. "Selain itu, jika Mahkamah menentukannya maka fleksibilitasnya menjadi hilang dan dapat memicu munculnya berbagai permohonan terkait dengan persyaratan batas minimal usia jabatan publik lainnya ke Mahkamah Konstitusi," kata Saldi lagi. 

Pada pertimbangan ketiga, Saldi mengatakan norma pengaturan persyaratan batas minimal usia calon presiden dan wakil calon wakil presiden dalam perkembangannya berbeda-beda. Selain itu Saldi menyebutkan pemilihan kepala daerah memiliki syarat dan tingkatan yang berbeda dengan pemilihan presiden dan wakil presiden dari waktu ke waktu, terutama sejak dilakukan pemilihan secara langsung oleh rakyat sebelum perubahan UUD 1945, atau pada waktu dipilih MPR, syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden ditentukan harus telah berusia 40 tahun. 

Sedangkan, setelah perubahan UUD 1945 untuk pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2004 tahun 2009 dan tahun 2014 ditentukan sekurang-kurangnya 35 tahun. Sementara itu, pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2019, syarat usia bagi calon presiden dan calon wakil presiden ditentukan menjadi paling rendah 40 tahun.

"Namun demikian terlepas dari perbedaan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden dalam beberapa pemilihan umum presiden dan wakil presiden, pilihan kebijakan lembaga yang berwenang menentukan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden tidak pernah menimbulkan problematika kelembagaan kepresidenan," katanya.

Artinya, tambah Saldi, Pemilihan Umum calon presiden dan calon wakil presiden tetap dapat dilaksanakan tidak terjadi kebutuhan hukum dan menghambat pelaksanaan kinerja lembaga kepresidenan sehingga menimbulkan kerugian konstitusional warga negara.

Alasan keempat adalah tidak ada ketentuan mengenai persyaratan usia yang dapat dipersamakan atau disetarakan dengan persyaratan usia calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana diatur dalam norma pasal 169 huruf q UU 7/2017. "Dalam hal ini misalnya tidak dapat dipersamakan dengan persyaratan batas minimal usia pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Saldi.

Menurut Saldi perubahan batas minimal usia calon pimpinan KPK menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif terhadap seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK. Sehingga, Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 112/PUU-XX/2022 memberi alternatif persyaratan lain yakni menambah frasa 'atau berpengalaman'.

"Dengan mempertimbangkan bahwa subjek dan jabatan yang akan diikuti dalam proses seleksi nantinya berada dalam jabatan yang sama," katanya.

Oleh karena itu, dalam putusan 112/PUU-XX/2022 Mahkamah memutuskan secara alternatif tanpa mengubah ketentuan syarat usia yang merupakan kebijakan terbuka pembentuk Undang-undang. Selain itu, Mahkamah juga berpandangan norma pasal 169 huruf q UU 7/2017 juga tidak dapat dikatakan sebagai norma yang bersifat diskriminatif.

Baliho dukungan Prabowo dan Gibran di Medan (ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/nz)

 

Alasan MK Tolak Gugatan Partai Garuda dan Gerindra

Dalam pertimbangannya hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan mahkamah menilai gugatan tidak bisa dikabulkan lantaran berpotensi menimbulkan diskriminasi. Hal ini berkaitan dengan tidak ada penjelasan yang tepat untuk membedakan jabatan kepala daerah dengan jabatan publik lainnya. 

“Dengan demikian dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Saldi dalam persidangan yang berlangsung di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (16/10).

Dia menyebutkan gugatan yang diajukan juga tidak bisa diterima lantaran persoalan batas usia dan persyaratan untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden merupakan kebijakan yang bersifat terbuka  yang dibahas melalui pembentukan Undang-undang. Saldi menyebut batasan usia cawapres minimal 40 tahun seperti yang telah ditetapkan saat ini tidak beralasan menurut hukum. 

Atas pertimbangan itu Ketua MK Anwar Usman menyampaikan bahwa hakim MK memutuskan menolak gugatan yang disampaikan oleh pemohon. “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Anwar membacakan putusan. 

Terdapat dua hakim yang menyatakan perbedaan pendapat yaitu Suhartoyo dan M Guntur Hamzah. Putusan diambil melalui rapat majelis hakim yang diikuti 9 hakim MK. 

Deklarasi dukung pasangan Prabowo-Gibran di Kudus (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/tom.)



 

Reporter: Ade Rosman