Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dengan putusan ini, mereka yang pernah menjabat sebagai kepala daerah bisa maju sebagai calon presiden dan wakil presiden.
MK mengubah syarat calon presiden dan calon wakil presiden dengan menambahkan frasa pada pasal 169 huruf q UU Pemilu menjadi: 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk kepala daerah'.
Dari sembilan hakim yang mengambil putusan, empat hakim menyatakan pendapat yang berbeda alias dissenting opinion. Salah satunya adalah Wakil Ketua MK Saldi Isra yang menyatakan proses pengambilan keputusan hakim sebagai misterius.
Hakim Saldi menyebut putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Almas Tsaqibbirru Re A sebagai 'aneh' dan 'luar biasa'. Ia menganggap putusan tersebut jauh di luar nalar.
"Mahkamah berubah pendirian dan sikap hanya dalam sekelebat," kata hakim Saldi dalam salinan amar putusan MK dikutip Selasa (17/10).
MK mengabulkan sebagian uji materi yang dilayangkan Almas Tsaqibbirru Re A, tapi MK menolak gugatan yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda dan Partai Gerindra. Padahal semua gugatan itu memiliki isu hukum yang sama yakni mempersoalkan batas usia capres dan cawapres.
"Mahkamah beribah (berubah) pendirian dan sikap hanya dalam sekelebat," kata hakim Saldi dalam salinan amar putusan MK.
Almas dan tiga partai politik lain, menggugat materi yang sama, yakni pasal 169 huruf q UU Pemilu. Dalam perkara bernomor 29/PUU-XXI/2023, PSI meminta MK menurunkan usia calon presiden dan calon wakil presiden menjadi 35 tahun dari sebelumnya 40 tahun.
Sedangkan dalam gugatan Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Garuda dan gugatan Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan kader Gerindra pemohon tidak mempermasalahkan usia minimal 40 tahun dengan penambahan frasa atau sudah berpengalaman dalam menjadi kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Kehadiran Anwar Usman Dianggap Mengubah Arah Putusan
Saldi Isra mengungkapkan, dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutus perkara yang diajukan PSI, Garuda dan Gerindra, hanya dihadiri delapan hakim konstitusi. Dia menyebutkan RPH berlangsung pada 19 September 2023, dihadiri Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah.
RPH tersebut tidak dihadiri oleh Hakim Konstitusi dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Keterangan hakim Saldi ini diperkuat pernyataan hakim Arief Hidayat.
Hakim Arief menyatakan RPH dipimpin oleh Wakil Ketua Saldi Isra dan dia menanyakan ketidakhadiran Ketua Anwar Usman. "Wakil Ketua kala itu menyampaikan bahwa ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest)," kata hakim Arief.
Seperti diketahui, hakim Anwar merupakan merupakan adik ipar dari presiden Joko Widodo. Adapun perkara Pasal 169 mengenai batas usia capres dan cawapres berkaitan dengan kepentingan politik Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra Jokowi. Sebelum putusan ini diketuk, Gibran merupakan kandidat cawapres di kubu pendukung Prabowo Subianto.
Ketika RPH tanpa dihadiri Usman, enam hakim sepakat menolak gugatan dari tiga partai politik . Hanya dua hakim memiliki pendapat berbeda.
Situasi ini berbeda saat pengambilan putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Almas Tsaqibbirru. Rapat pengambilan putusan digelar pada 21 September dengan dihadiri oleh sembilan hakim, termasuk Anwar Usman.
Hakim Arief menyatakan, Ketua MK Anwar menyampaikan alasan tak hadir dalam RPH di perkara tiga parpol karena alasan kesehatan, bukan menghindari konflik kepentingan.
Hakim Saldi menyatakan keheranan perubahan sikap sejawatnya saat pengambilan putusan dua gugatan yang secara isu memiliki kesamaan. "Perubahan komposisi hakim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel ‘sebagian’, sehingga menjadi ‘mengabulkan sebagian’,” ujar hakim Saldi.
Perubahan sikap sejawatnya itu membuat hakim Saldi bertanya-tanya. Menurut dia, seandainya RPH yang digelar untuk memutus perkara yang diajukan tiga partai politik itu dihadiri sembilan hakim konstitusi, apakah kemungkinan berbeda. "Akankah norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 masih tetap didukung mayoritas hakim sebagai kebijakan hukum terbuka atau tidak," tanya dia.
Faktor Gibran jadi Pembeda Gugatan Almas
Dalam berkas gugatannya, Almas Tsaqibbirru menyampaikan alasannya mengajukan perubahan syarat capres dan cawapres. Dia menyatakan Gibran Rakabuming merupakan tokoh yang inspiratif yang dianggap layak maju Pilpres.
Dalam masa pemerintahan Gibran, dia menyebut pertumbuhan ekonomi di Solo naik hingga angka 6,25% yang dimana saat awal dia menjabat menjadi wali kota pertumbuhan ekonomi di Solo -1,74%.
Alasan ini menjadi pembeda sikap sebagian para hakim konstitusi dalam mengabulkan gugatan Almas dan menolak gugatan tiga partai politik.
Hakim Saldi Isra menyampaikan keheranannya saat menjelaskan perubahan rekan hakim lainnya. Dia menilai, permohonan Almas “pengalaman” sekaligus “keberhasilan” Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai acuan. Artinya, permohonan tersebut tidak menyandarkan alasan-alasan permohonannya pada pejabat yang dipilih (elected official).
"Dengan adanya lompatan kesimpulan seperti termaktub dalam amar Putusan a quo, tidak salah dan tidak terlalu berlebihan munculnya pertanyaan lanjutan: haruskah Mahkamah bergerak sejauh itu?" tanya hakim Saldi.