Mahfud Sebut MK Salah dalam Putusan Usia Cawapres tapi Harus Diikuti

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.
Menkopolhukam Mahfud MD memberikan keterangan kepada media di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (4/7/2023).
Penulis: Ade Rosman
20/10/2023, 14.22 WIB

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tak tepat. Hal itu disampaikan Mahfud saat menjadi narasumber dalam acara Mata Najwa yang dilaksanakan pada Kamis (19/10) persis di hari Mahfud mendampingi Ganjar Pranowo menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum. 

“Sebelum putusan diucapkan sudah berkali saya bicara di berbagai tempat. MK secara teoritis tidak boleh memutus itu karena MK itu negative legislator,” ujar Mahfud seperti dikutip dari tayangan YouTube Mata Najwa, Jumat (20/10). 

Sebelumnya saat MK belum membacakan putusan, Mahfud memang telah menyebut bahwa mahkamah tak memiliki wewenang memutus perkara usia capres dan cawapres. Dia beralasan, putusan itu merupakan open legacy policy yang menjadi ranah pembuat Undang-Undang yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah.

Namun demikian, ia menyebut jika MK sudah menjatuhkan putusan, maka suka-tidak suka putusan MK sifatnya mengikat dan final. Kendati demikian, Mahfud mengaku tak suka dengan putusan MK yang mengabulkan gugatan tersebut. Ia menilai putusan MK yang menambah adanya klausul atau sudah pernah menjadi kepala daerah adalah salah. 

“Salah. Salah secara fundamental, tapi secara fundamental ada dalil di konstitusi setiap putusan yang sudah inkrah itu tidak bisa dilawan, yang salah aja ditindak, kan gitu,” ujar Mahfud. 

Meski mengatakan MK salah namun Mahfud mengingatkan bahwa jalur yang bisa dilakukan adalah dengan membawa hakim ke sidang Mahkamah Etik. Ia mengingatkan bahwa dalil di konstitusi memberi jaminan setiap putusan yang telah inkrah tidak dapat dilawan.

Di sisi lain, Mahfud pun mengungkapkan Anwar seharusnya tak boleh mengadili hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaan. Larangan itu memiliki aturan yang jelas dalam tata acara bersidang. 

“Dalilnya tuh nemo iudex in causa sua, tidak boleh orang mengadili hal-hal yang ada kaitan kekeluargaan, kaitan yang kepentingan diri sendiri,” kata Mahfud.

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dengan putusan ini, mereka yang pernah menjabat sebagai kepala daerah bisa maju sebagai calon presiden dan wakil presiden.

MK mengubah syarat calon presiden dan calon wakil presiden dengan menambahkan frasa pada pasal 169 huruf q UU Pemilu menjadi: 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk kepala daerah'.

Anwar Usman Dilaporkan ke Mahkamah Etik

Para advokat yang tergabung dalam pergerakan advokat nusantara atau Perekat Nusantara bersama Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) telah melaporkan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi oleh Ketua Mahkamah Anwar Usman. Laporan dilayangkan ke MK pada Rabu (18/10).  

Dalam laporannya, para advokat juga mengadukan 9 hakim MK lainnya ke Dewan Etik. Mereka menilai Anwar Usman seharusnya tidak ikut dalam memutus perkara terutama nomor 90/PPU-XXI/2023 karena materi yang diajukan dalam perkara berkaitan dengan langsung dengan Anwar. 

Perwakilan Adovat, Petrus Selestinus mengatakan dalam perkara yang diajukan Almas Tsaqibbiru RE pada 15 Agustus 2023 secara terang benderang menyebut nama Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra Presiden Joko Widodo. Tak hanya itu, Gibran merupakan keponakan Anwar yang merupakan hakim terlapor. 

 Selain itu Anwar juga turut memutus uji materi yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia dengan nomor perkara 29/PUU-XXI/2023 yang saat ini dipimpin oleh Kaesang Pangarep. Kaesang merupakan adik Gibran yang juga merupakan keponakan Anwar Usman.  

"Hal itu menyebabkan kedudukan hakim terlapor dalam konflik kepentingan, dalam benturan kepentingan atau oleh UU Kekuasaan Kehakiman disebut dengan “berkepentingan," ujar Petrus.

Merujuk aturan dalam pasal 17 ayat (3), ayat (4), ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Usman seharusnya tidak ikut memutus dan mengundurkan diri perkara. Di sisi lain, Advokat juga mengkritik pemerintah dan DPR yang sejak kasus bergulir tidak mengkritik keterlibatan Anwar dalam sidang. 

Reporter: Ade Rosman