Jimly Sebut Putusan MKMK Bakal Pengaruhi Pendaftaran Capres - Cawapres

ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie memberikan keterangan usai memeriksa hakim konstitusi di Gedung II Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (2/11/2023).
Penulis: Ira Guslina Sufa
3/11/2023, 16.54 WIB

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menjelaskan putusan MKMK terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim MK akan berdampak pada pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden. Mahkamah rencananya akan membacakan putusan pada Selasa (7/11) mendatang. 

"Nanti tolong dilihat di putusan yang akan kami baca, termasuk jawaban atas tuntutan supaya putusan itu ada pengaruhnya terhadap putusan MK sehingga berpengaruh pada pendaftaran bakal pasangan calon presiden/wakil presiden," kata Jimly saat ditemui usai sidang di Mahkamah Konstitusi Jumat (3/11).

Jimly menyatakan putusan MKMK sangat mungkin akan berdampak terhadap pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden. Atas dasar pertimbangan itu pulalah makanya mahkamah memilih menjadwalkan putusan sebelum penetapan peserta pemilu presiden dan wakil presiden 13 November 2023.

Lebih jauh Jimly menekankan bahwa putusan MK terkait dengan syarat batas minimal usia capres/cawapres harus dikawal melalui putusan MKMK agar adanya kepastian. Hal itu diperlukan untuk memastikan tegaknya etika politik dan etika bernegara.

"Yang salah harus dibilang salah, yang benar harus dibilang benar, yang jauh lebih penting adalah tradisi negara hukum dan demokrasi terus berjalan untuk meningkatkan mutu dan integritas," kata Jimly.

Mantan Ketua MK itu mengayakan sebagai negara hukum terbesar keempat di dunia, Indonesia harus menunjukkan praktik bernegara dengan baik dan berlandas pada hukum. Ia meminta masyarakat bersabar menunggu putusan MKMK terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik oleh sembilan hakim MK.

"Banyak 'kan laporan ada 21, ad hoc (MKMK) ditugasi hanya 30 hari. Akan tetapi, alhamdulillah, kami selesaikan hanya 15 hari," kata Jimly.

Menurut Jimly, dari 21 pelaporan yang diterima oleh MKMK  sebagian besar meminta agar putusan MKMK menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan itu menetapkan syarat usia capres/cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Meski begitu Jimly mengatakan putusan MKMK tak bisa berdampak langsung pada putusan MK. 

Putusan MK Final dan Mengikat 

Mengenai putusan yang akan dikeluarkan MKMK Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan tidak bisa membatalkan putusan nomor 90 lantaran sifat putusan yang final dan mengikat. Hal itu sudah diatur dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 10 Undang-Undang MK. Putusan MKMK menurut Feri tidak akan berpengaruh dan terhadap putusan yang telah dibuat Mahkamah Konstitusi. 

Ia menyebut putusan yang dikeluarkan Majelis Kehormatan berkaitan dengan dugaan pelanggaran etik hakim hanya bisa digunakan sebagai alat bukti baru untuk alasan baru pengajuan perkara yang sama terkait dengan pasal 169 huruf q. Hal itu menurut dia sangat dimungkinkan karena selama ini sudah ada beberapa putusan MK yang diperbaiki lewat putusan setelahnya. 

Menurut Feri, lembaga yang dapat memberikan penilaian terkait keabsahan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden adalah MK sendiri. Atas alasan itu ia mengatakan putusan MK tersebut bisa saja tidak berlaku bila MK kemudian mengeluarkan putusan baru dalam kasus yang sama yaitu perkara pasal 169 huruf q. 

“Yang dapat mengatakan putusan 90 tidak sah karena catat prosedur itu MK sendiri," ujar Feri. 

Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara STIH Jentera, Bivitri Susanti, menjelaskan bahwa Prabowo harus mencari cawapres baru jika MK menggelar pengujian ulang dan mengubah bunyi Putusan MK Nomor 90.  Jika skenario itu terjadi, ujar Bivitri, Prabowo hanya punya waktu hingga tanggal 8 November untuk menetapkan penggantian pasangan calon wakil presiden.

Ketetapan tersebut merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. "Tapi kalau sudah lewat tanggal 8, berarti nanti pas penetapan tanggal 13 maka pasangan Prabowo-Gibran tidak bisa ditetapkan, karena Gibran tidak lagi memenuhi syarat dalam UU Pemilu," ujar Bivitri.

Persoalan etik hakim MK ini mencuat setelah pada Senin (16/10), MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh warga negara Indonesia bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah. Ia mengajukan gugatan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).  

Atas putusan tersebut, Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya berbunyi “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Putusan itu menjadi kontroversi karena memuluskan langkah Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden dari Koalisi Indonesia Bersatu mendampingi Prabowo Subianto.   

Terhadap putusan itu terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh. Jugada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

Reporter: Antara