Anwar Usman Didesak Mundur dari Hakim Konstitusi Usai Putusan MKMK

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/tom.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman meninggalkan ruangan usai memimpin jalannya sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di di Gedung MK, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Penulis: Ade Rosman
8/11/2023, 13.58 WIB

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi karena melanggar etik dalam pengambilan putusan Nomor 90/PPU/XXI/2023 tentang batas usia usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Kendati demikian, sejumlah pihak menyatakan kurang puas dengan ketetapan yang dibacakan Ketua MKMK Jimly Asshidique tersebut.

Desakan pada Anwar Usman mundur dari hakim konstitusi disampaikan Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang menjadi salah satu pelapor dalam pelanggaran dugaan etik Anwar. Koordinator Perekat Nusantara dan TPDI Petrus Selestinus mengatakan, dipertahankannya Anwar sebagai Hakim Konstitusi masih menjadi ancaman disharmonisasi dalam tubuh MK.

Petrus menilai putusan MKMK yang mencopot Anwar Usman dari jabatan Ketua MK tak cukup memberi rasa keadilan. Dengan tetap menjadi hakim MK, keberadaan Anwar menurut Petrus bisa saja menimbulkan ketidaknyaman.

"Sehingga Hakim Terlapor (Anwar) dikhawatirkan akan menjalankan peran-peran non-yustisial secara lebih leluasa tanpa beban dan lain-lain, dan ini tentu jadi ancaman serius atau bom waktu bagi MK ke depan," kata Petrus seperti dikutip, Rabu (8/11).

Selain itu, Advokat Perekat Nusantara dan TPDI pun akan melaporkan Anwar Usman ke Ombudsman RI terkait kesalahan dalam tata kelola pelayanan administrasi publik di MK. Perbuatan Anwar disebut telah menutup pintu bagi kontrol publik terhadap MK selama ini.

Desakan agar Anwar Usman mundur dari hakim MK juga datang dari Setara Institute. Ketua Badan Pengurus Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, pihaknya mendesak Anwar untuk mundur.

"Untuk memulihkan marwah mahkamah, Setara Institute mendesak Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Hakim MK, sehingga tidak lagi membebani mahkamah," kata Ismail.

Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan, Anwar Usman telah melakukan pelanggaran berat, secara moral dan politik. Juga, Putusan 90 bukan diputus demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana irah-irah dalam putusan MK, tetapi demi kepentingan memupuk kuasa. 

Hal serupa disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PAN Sarifuddin Sudding. Ia mengatakan, Anwar sebaiknya mundur dari hakim konstitusi sebagai bentuk moral kenegarawanan.

"Sebaiknya yang bersangkutan mengundurkan diri, atau lembaga pengusulnya dapat menarik yang bersangkutan sebagai hakim MK," katanya.

Ia beralasan, secara moral sikap kenegarawanan, integritas dan profesionalisme Anwar telah tercederai dan kepercayaan publik tergerus jika ia masih menjadi hakim konstitusi.

Anwar Usman Langgar Etik Berat

Sebelumnya pada sidang yang berlangsung Selasa (7/11) MKMK telah memutus dugaan pelanggaran etik 9 hakim MK atas putusan Nomor 90/PUU-XXl/2023. Dalam putusannya MKMK menetapkan ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat terutama karena turut memutus perkara yang memiliki benturan kepentingan sehingga dicopot dari jabatan sebagai ketua.  

Putusan yang dibuat MK tentang penambahan klausul di syarat capres dan cawapres telah membuka jalan bagi wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang berusia 36 tahun bisa maju di pilpres mendampingi Prabowo Subianto. Gibran merupakan keponakan kandung dari istri Anwar. 

Dalam putusannya, MKMK juga menjatuhkan sanksi pada Anwar tidak boleh ikut dalam menyidangkan perkara yang diujikan oleh Brahma mengenai syarat batas usia capres dan cawapres. Ia juga dilarang ikut bersidang dalam perkara mengenai sengketa pemilu, dan pilkada. 

Putusan itu mendapat pendapat berbeda dari anggota MKMK Bintan Saragih. Bintan mengatakan atas pelanggaran etik berat yang dilakukan Anwar Usman seharusnya diberhentikan tidak dengan hormat. 

“Karena hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat. Sanksi terhadap "pelanggaran berat" hanya "pemberhentian tidak dengan hormat"  dan tidak ada saksi lain sebagaimana diatur pada pasal 41 huruf c dan pasal 47 peraturan mahkamah konstitusi nomor 1 tahun 2023 tentang majelis kehormatan mahkamah konstitusi,” ujar Bintan membacakan pendapatnya. 

Meski begitu, Bintan mengatakan merasa senang atas proses yang berlangsung selama sidang pelanggaran etik digelar. Ia menyebut proses sidang berjalan dengan terbuka dan saling menghormati antar hakim. Selain itu menurut Bintan selama sidang para pelapor mendapat ruang untuk menyampaikan fakta-fakta. 

Reporter: Ade Rosman