Timnas AMIN Kritik Proyek Hilirisasi Nikel Minim Serap Tenaga Kerja

ANTARA FOTO/Andri Saputra/rwa.
Pekerja tambang berada di dekat tumpukan nikel di kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Desa Lelilef, Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, ÊMaluku Utara, Jumat (1/9/2023).
6/12/2023, 15.01 WIB

Tim Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) menganggap konsep hilirisasi industri saat ini hanya berfokus pada komoditas tambang nikel. Timnas AMIN menilai kebijakan hilirisasi nikel menjadi problematik atau bermasalah karena tidak memperhatikan realitas pasar.

Timnas AMIN menilai hilirisasi nikel yang berorientasi pada produk turunan baterai kendaraan listrik merupakan industri padat modal tapi minim menyerap tenaga kerja.

Wakil Kapten Timnas AMIN Thomas Trikasih Lembong mengatakan bahwa rantai bisnis hilirisasi nikel tidak banyak menyerap tenaga kerja layaknya sektor usaha jasa, manufaktur, pertanian dan ritel.

Mantan Menteri Perdagangan itu menambahkan, keputusan pemerintah untuk melarang ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020 turut memberikan dampak negatif pada pengembangan industri baterai kendaraan listrik berbasis nikel dalam negeri nantinya.

Tom Lembong menyebut kebijakan penyetopan ekspor bijih nikel berpotensi memicu migrasi pabrikan baterai kendaraan listrik untuk mencari alternatif bahan baku selain nikel.

"Hal itu menyebabkan harga nikel tinggi, maka produsen akan mencari barang substitusi. Tentu nasabah tidak mau tersandera oleh barang harga tinggi," kata Tom Lembong saat menjadi pembicara dalam diskusi CSIS bertajuk 'Pandangan Capres/Cawapres 2024-2019 Terhadap Kebijakan Industri, Hilirisasi dan Perubahan Iklim' di Gedung Pakarti Tanah Abang Jakarta Pusat pada Rabu (6/12).

Merujuk pada riset Internasional Energy Agency (IEA) dan Maybank Investment Banking Group, Tom Lembong mengatakan bahwa proporsi permintaan baterai kendaraan listrik berbasis nikel akan cenderung menyusut pada 2030.

Rasio permintaan baterai kendaraan listrik berbasis nikel, mangan dan kobalt (NMC) akan turun ke level 30% pada 2030. Angka tersebut turun signifikan dari permintaan jenis baterai tersebut pada tahun 2015 memasok hampir 80% kebutuhan baterai kendaraan listrik dunia.

Hasil riset IEA dan Maybank menunjukkan bahwa ceruk permintaan baterai kendaraan listrik secara perlahan bakal dikuasai oleh pasokan baterai berbasis lithium ferro phospate atau litium besi fosfat (LFP) dengan jumlah permintaah hampir 80% permintaan global.

"Karena nikel mahal dan pasokan tidak stabil karena kran ekspor yang buka-tutup, maka industri cari solusi lain. Saat ini 100% mobil listrik baru Tesla di Tiongkok menggunakan baterai LFP yang tidak pakai nikel sama sekali," ujar Tom Lembong.

Peneliti Ekonomi CSIS Haryo Aswicahyono mengatakan bahwa proyek hilirisasi mineral tambang nikel lewat kebijakan penyetopan larangan ekspor bijih nikel hanya berkontribusi 0,003% pertumbuhan produk domestik bruto (PDB)

Meski begitu, Haryo mengatakan bahwa kebijakan hilirisasi mineral berkontribusi pada peningkatan PDB di daerah lokasi pertambangan. "Memang betul untuk sektor tambang nilai tambahnya naik, tapi secara keseluruhan nasional itu sangat-sangat kecil," ujar Haryo.

Haryo juga menyebutkan bahwa kebijakan penyetopan bijih nikel dapat menimbulkan dampak negatif terhadap rencana pengembangan bisnis baterai kendaraan listrik dalam negeri. Dia menyebut bahwa permintaan nikel dunia untuk bahan baku baterai kendaraan listrik akan semakin turun seiring adanya inovasi teknologi yang berkembang pesat.

"Permintaan nikel tergantung pada harga nikel itu sendiri. Kalau harga nikel dibuat mahal karena kita punya pasokan lebih lalu kita larang ekspor maka harga nikel dunia melanjak sehingga produsen melakukan substitusi," kata Haryo.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu