Kampanye di Makassar, Mahfud MD Janji Kembalikan UU KPK Lama

ANTARA/Devi Nindy
Cawapres nomor urut tiga Mahfud Md datang ke Posko Pemenangan TPN di Jakarta, Minggu (7/1/2023).
Penulis: Happy Fajrian
13/1/2024, 15.36 WIB

Calon wakil presiden nomor urut 3 Prof. Mahfud MD menyatakan ingin mengembalikan Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Undang-undang lama sebelum dilakukan revisi.

Menurutnya hal ini untuk mengembalikan kepercayaan terhadap KPK dan demi mengembalikan kejayaan dan marwah lembaga antirasuah tersebut. Hal ini ia utarakan saat berkampanye di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (13/1).

“Untuk KPK yang sekarang, saya kepercayaan agak kurang, tapi menurut saya KPK masih diperlukan. Karena dulu KPK punya masa jayanya dengan Undang-undang yang dulu. Kalau saya terus terang, Undang-undangnya dikembalikan aja ke dulu, itu yang penting,” ujarnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini pun juga menanggapi pertanyaan dosen Unhas Profesor Armin Asryad yang menyampaikan keprihatinan atas eksistensi KPK yang mulai meredup setelah Undang-undang KPK direvisi dan disahkan oleh DPR.

“Orang bertanya kepada saya, anda kan berada di situ kok bisa lahir Undang-undang KPK yang melemahkan KPK. Undang-undang itu lahir sebelum saya menjadi Menko Polhukam, jadi dibahas sejak Januari, September disahkan, Oktober saya jadi Menteri,” kata dia.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini melanjutkan, lantas mengapa pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu), kata dia, itu tidak bisa dikeluarkan, sebab DPR RI menolak.

“Kalau KPK jalan dengan Undang-undang baru, lalu dibuat Perppu agar dikembalikan, maka DPR RI pasti menolak Perppu itu. Karena, Perppu itu disetujui DPR itu di masa sidang,” ujarnya.

“Kalau DPR menolak Perppu itu, padahal KPK sudah siap bekerja dengan UU baru lalu dibatalkan Perppu, ini bisa kacau perjalanan antara keluarnya Undang-undang dan keluarnya Perppu, maka bisa tidak sah semua tindakan hukum yang dilakukan KPK, harus dilepas semua orang dipenjara itu (koruptor),” ujar Mahfud menjelaskan.

Menurutnya, ke depan bila masyarakat memberi amanah kepada dirinya bersama Ganjar Pranowo memimpin bangsa ini maka akan mengembalikan aturan lama yang sebelumnya dijalankan KPK agar kepercayaan publik dikembalikan.

“Kalau saya setujui ini diperbaiki. Agenda kita pertama, ubah Undang-undang KPK, kembalikan ke yang lama. Dengan proses seleksi yang tidak usah terlalu banyak melibatkan DPR. Objektif saja, serahkan kepada masyarakat. Dulu ada tim dari tokoh masyarakat, DPR formalitas saja. Sekarang (DPR), lobi dulu jadi ini, itu, sudah dijerat lehernya sebelum jadi,” kata dia.

Mahfud pun mengakui dari pertanyaan Prof. Armin bahwa dari era orde baru menuju era reformasi perilaku korupsi lebih banyak yang bermunculan. Dulunya di zaman Suharto, kalau mau korupsi, dalam pelaksanaan APBN orang korupsi di proyek, sekarang belum jadi APBN tapi sudah dikorupsi lebih dulu.

Ia mencontohkan, sebelumnya ada anggota DPR yang sudah dipenjara, caranya menjanjikan anggaran pengadaan masuk APBN kepada kepala daerah atau rektor, padahal itu belum jadi.

Misalnya, pengadaan alat kesehatan dengan anggaran Rp 600 miliar dengan dalih memasukkan dalam APBD lalu meminta bayaran 7%. APBN-nya belum jadi, anggarannya belum disahkan sudah bayar 7%.

“Kalau dulu di zaman Pak Harto itu di bawah, APBN-nya dibuat murni dan dasar hitungan rasional, nanti proyek-nya keroyokan dan arisan waktu itu, ada korporasi bagi-bagi. Sekarang sudah silang (main proyek), legislatif, eksekutif, edukatif, rusak dan bahaya pak. Jadi, betul itu (korupsi berjamaah), saya merasakannya,” beber Mahfud.

DPR mengesahkan revisi Undang-undang nomor 19 tahun 2019 tentang KPK hanya dengan dua kali rapat pembahasan antara DPR dan pemerintah setelah merevisi Undang-undang lama nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang disahkan pada Selasa 17 September 2019 dalam rapat paripurna meski ditentang berbagai pihak karena diduga melemahkan lembaga anti rasuah tersebut.

Reporter: Antara