KPK Kejar Harun Masiku Sampai Ketemu, Abaikan Kabar Sudah Meninggal

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) memasang seni instalasi memperingati empat tahun menghilangnya buronan KPK Harun Masiku di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (15/1/2024).
Penulis: Ira Guslina Sufa
17/1/2024, 08.30 WIB

Ketua sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menegaskan penyidik lembaga antirasuah terus memburu buron Harun Masiku. Menurut Nawawi pengejaran terus dilakukan tanpa memperhitungkan kabar-kabar yang beredar mengenai Harun Masiku. 

"Kami terus bekerja tanpa mencari tahu apakah HM ini telah pergi atau belum, kami masih terus bekerja," kata Nawawi dalam konferensi pers Kinerja dan Capaian KPK 2023 di Gedung Merah Putih KPK, seperti dikutip Rabu (17/1). 

Nawawi mengatakan dirinya juga telah mendengar tuntutan dari aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) soal Harun Masiku yang masih buron selama empat tahun agar ditangkap. Dia pun telah berkomunikasi dengan kepala satuan tugas (Kasatgas) yang ditugaskan untuk mencari dan menangkap Harun Masiku.

"Saya menanyakan sejauh mana kerjaanmu, dia bilang 'mohon waktu kami terus cari'," ujar Nawawi. 

Di sisi lain, Nawawi mengakui ia juga turut mendengar kabar mengenai isu Harun Masiku sudah meninggal dunia seperti ramai dibicarakan di sosial media. Kabar Harun Masiku sudah meninggal juga diungkap oleh pegiat antikorupsi Boyamin Saiman.  Nawawi mengatakan KPK akan tetap bekerja mencari buronan KPK itu dengan mengabaikan isu yang beredar. 

"Kalau mati dimana kuburnya? Itu Pak (Wakil Ketua KPK Nurul) Ghufron yang ngomong, saya cuma lanjutin," kata Nawawi. 

Sementara Dewan Pengawas KPK memastikan terus memantau proses pencarian Harun Masiku oleh tim penyidik lembaga antirasuah itu. Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengungkapkan tim penyidik KPK bahkan telah memperluas pencarian ke negara tetangga, meski demikian pencarian tersebut belum membuahkan hasil.

"Semua (pencarian) dilaporkan kepada Dewas. Mereka juga ada yang berangkat ke Filipina untuk mencari Harun Masiku tapi sampai sekarang juga memang belum ketemu," ujar Tumpak. 

Mantan pimpinan KPK periode 2003-2007 itu mengatakan proses pencarian Harun Masiku selalu ditanyakan setiap rapat antara Dewas dan pimpinan KPK. Menurut dia hal itu akan menjadi pengingat kepada pimpinan KPK bahwa mereka masih punya PR yang belum selesai.

Peringatan 4 tahun Harun Masiku hilang (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.)

Duduk Perkara Harun Masiku hingga Jadi Buronan KPK 

Harun Masiku ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam perkara dugaan pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat terpilih periode 2019-2024 di KPU RI. Meski demikian, Harun Masiku selalu mangkir dari panggilan penyidik KPK hingga dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 Januari 2020.

Selain Harun, pihak lain yang terlibat dalam perkara tersebut adalah mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Periode 2017-2022 Wahyu Setiawan. Wahyu Setiawan juga merupakan terpidana dalam kasus yang sama dengan Harun Masiku dan saat ini tengah menjalani bebas bersyarat dari pidana 7 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedungpane Semarang, Jawa Tengah.

KPK menjebloskan Wahyu Setiawan ke balik jeruji besi berdasarkan putusan MA Nomor: 1857 K/ Pid.Sus/2021 jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 37/Pid.Sus-TPK/2020/PT DKI jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 24 Agustus 2020 yang telah berkekuatan hukum tetap.

Terpidana Wahyu Setiawan juga dibebani kewajiban membayar denda sejumlah Rp 200 juta. Bila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan. Wahyu juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.

Sebelumnya, amar putusan kasasi terhadap Wahyu Setiawan adalah menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.

Meski majelis kasasi menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), namun khusus permohonan pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik bagi Wahyu telah dipertimbangkan dan diputus sebagaimana permohonan dari tim JPU dalam memori kasasi yang sebelumnya telah diajukan kepada MA.

Dalam persidangan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 Agustus 2020, majelis hakim memutuskan Wahyu divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan. Majelis hakim pun memutuskan tidak mencabut hak politik Wahyu pada masa waktu tertentu seperti tuntutan JPU KPK.

Kemudian pada 7 September 2020, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis 6 tahun penjara bagi Wahyu atau masih lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang menuntut agar Wahyu divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Putusan banding tersebut tidak menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik bagi Wahyu selama 4 tahun setelah menjalani hukuman pidana seperti yang dituntut KPK. Sedangkan kader PDI Perjuangan Agustiani Tio Fridelina yang ikut menerima suap Rp 600 juta dari Harun Masiku bersama-sama dengan Wahyu divonis 4 tahun penjara.

Dalam perkara ini, Wahyu dan Agustiani terbukti menerima uang sebesar 19 ribu dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura atau seluruhnya Rp600 juta dari kader PDIP Harun Masiku yang saat ini masih buron. Tujuan penerimaan uang tersebut agar Wahyu dapat mengupayakan KPU menyetujui permohonan Penggantian Antar-Waktu (PAW) Anggota DPR RI PDI Perjuangan dari Dapil Sumatera Selatan 1, yakni Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

Reporter: Antara