Mengenang Amrus Natalsya Maestro Seni Rupa Fenomenal

Instagram @amrusnatalsya
Amrus Natalsya
Penulis: Safrezi Fitra
1/2/2024, 17.52 WIB

Dunia seni rupa Indonesia berduka. Maestro pematung, pemahat, dan pelukis Amrus Natalsya meninggal dunia di usia 91 tahun. pada 31 Januari 2024 di Cibinong, Jawa Barat.

Seperti dikutip Detik.com, Kamis (1/2), meninggalnya Amrus Natalsya dibenarkan oleh putranya Dida Natalsya. Sebelum meninggal, Amrus memang sudah sakit dan dirawat di rumah sakit di Sukabumi.

"Bapak sudah usia juga, sudah payah (secara fisik). Ada komplikasi juga, ada masalah di lambung sampai sudah berlubang," kata Dida yang akrab disapa Jagoeng.

Amrus Natalsya merupakan maestro seni rupa yang melegenda. Sepanjang hidupnya, Amrus terus berkarya sejak masa pemerintahan orde lama, orde baru, hingga sekarang.

Karya seninya banyak mendapat pujian dari kolektor dan kritikus seni. Dia pernah diundang Pemerintah Arab Saudi untuk membuat panel kayu kaligrafi. Amrus juga pernah mewakili Indonesia pada Pekan Pemuda Internasional di Wina, 1959.

Profil Amrus Natalsya

Amrus Natalsya merupakan seniman Indonesia yang lahir di Natal, Sumatra Utara pada 21 Oktober 1933. Dia lahir dari pasangan Rustam Syah Alam dan Aminah.

Amrus menyelesaikan sekolah dasar di Natal, dan melanjutkan sekolah menengah di Medan. Dia memulai pendidikan seninya di Akademi Seni Rupa Indonesia atau ASRI Yogyakarta pada 1954. Di kampus ini dia mulai menghasilkan karya patung dan lukisan yang sangat fenomenal.

Tahun pertama kuliah, Amrus mengerjakan sebuah pahatan dari kayu asam. Karya ini hendak ia pamerkan pada perayaan ulang tahun kelima ASRI di Gedung Sonobudoyo, Yogyakarta.

Karya seni ini menampilkan sesosok lelaki yang sedang duduk, dengan leher yang panjang, dan mata yang buta. Amrus pun menjuduli karyanya "Orang Buta yang Terlupakan". Karya itu dipuji senior-seniornya dan menilai bahwa karya Amrus orisinal dan ekspresif. Patung itu pun kemudian dibeli oleh Presiden Soekarno.

Karya patung lain berjudul "Tangisan Tak Terdengar", dipamerkan dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Banyak yang memuji karya Amrus, termasuk kritikus seni dari Amerika Serikat, Claire Holt.

Kesuksesan ini membawa Amrus semakin dikenal. Karya-karyanya sering dipamerkan dalam berbagai pameran seni, di dalam dan luar negeri.

Karya Amrus dikenal karena gaya uniknya yang menggabungkan teknik memahat dan membentuk patung dengan elemen khas Batak. Karyanya ini dipadukan dengan sentuhan “revolutionary realism”. Tema sosial dan kesulitan kehidupan sehari-hari seringkali menjadi fokus karya-karya Amrus.

Amrus Sang Seniman Fenomenal

Profil Amrus Natalsya cukup fenomenal. Dia pernah menjadi tahanan politik 1968-1973. Dia ditahan karena dituduh terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada 1961 Amrus terlihat mengikuti kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi seniman yang terafiliasi dengan PKI. Bersama sejumlah mahasiswa, di antaranya Misbach Tamrin, Djoko Pekik, Kuslan Budiman, Adrianus Gumelar, Amrus mendirikan Sanggar Bumi Tarung di Yogyakarta.

Sekitar bulan September 1965, Amrus ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan. Patung-patung karyanya dibakar saat pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sanggar Bumi Tarung pun dibubarkan pada masa Orde Baru. Pendiri sanggar ini ditangkap dan sebagian dibunuh.

Salah satu lukisan karya Amrus menjadi koleksi Presiden Soekarno. Lukisan yang diberi judul "Kawan-Kawanku" ini sempat menghiasi dinding Istana Negara.

Namun, rezim pemerintahan Orde Baru menilai lukisan tersebut identik dengan propaganda ideologi komunisme. Lukisan ini menggambarkan kemarahan rakyat jelata terhadap kapitalis birokrat dianggap dapat memprovokasi kaum proletar.

Menurut Amrus, lukisan Kawan-Kawanku hanya menggambarkan orang-orang istirahat di sore hari dan hendak mandi setelah seharian bekerja. Dia mengaku menggunakan teman-teman kuliahnya di ASRI sebagai model lukisan tersebut.

Hampir tiga dekade lukisan karya Amrus ini terkubur di gudang istana tanpa perawatan. Baru pada tahun 2011 oleh tim Panitia Uji Petik yang dibentuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menemukannya dalam keadaan rusak berat.

Setelah bebas dari penjara pada 1973, Amrus kesulitan untuk berpartisipasi dalam kegiatan seni. Dia hanya bisa berkegiatan di Pasar Seni, Ancol, Jakarta dengan membuat seni gambar di papan tulis. Namun ia tidak meninggalkan kegemaran lamanya pada patung kayu.

Amrus mulai mendapatkan kebebasan berkarya kembali setelah Orde Baru tumbang dan reformasi 1998. Pada tahun 2008, dia bersama beberapa seniman lama di Sanggar Bumi Tarung mengadakan Pameran Seni Rupa ke-2 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran ini menjadi momen penting dalam mengangkat kembali karya-karya mereka dan menunjukkan eksistensi mereka setelah melalui masa sulit di masa orde baru.

Pada sebuah pameran di Pusat Kebudayaan Jakarta di tahun 1998, patung "Bahtera Nuh" karyanya diakui sebagai karya terbaik pameran dan dibeli oleh Museum Universitas Pelita Harapan.

Pameran terakhir Amrus bersama sahabatnya Misbach Tamrin bertajuk "Dua Petarung" digelar di Bentara Budaya Yogyakarta pada bulan Desember 2023 lalu.

Kini Amrus sang maestro telah berpulang dengan tenang, mengikuti rekan seperjuangannya Djoko Pekik. Karya-karya Amrus layak menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah seni rupa di Tanah Air.