Mahfud Mengaku Pernah Diremehkan Saat Awal Jadi Menko Polhukam

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.
Menkopolhukam Mahfud MD memberikan keterangan kepada media terkait penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (4/7/2023). Dalam keterangannya, Satgas TPPO berhasil menyelamatkan 1.943 korban dan menetapkan 698 tersangka, sepanjang 5 Juni-3 Juli 2023.Ê
1/2/2024, 22.36 WIB

Mahfud MD telah menyerahkan surat pengunduran diri dari posisi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam). Surat pengunduran dirinya itu ia sampaikan pada Presiden Joko Widodo (Jokowi), pada Kamis (1/2).

Usai menyerahkan surat pada Jokowi, Mahfud menggelar konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat. Pada kesempatan itu, ia menceritakan saat awal mula menjabat sebagai Menko Polhukam sempat diremehkan akan segera di-reshuffle lantaran sikapnya yang blak-blakan.

"Jadi memang dulu kan waktu saya diangkat pertama itu, oleh Pak Rocky Gerung dibilang 'Mahfud mah ndak akan bisa jadi Menko. Paling lama 8 bulan, saya yakin di-reshuffle'," kata Mahfud.

Ia mengungkapkan, saat itu muncul anggapan demikian lantaran sikap terbuka Mahfud dikhawatirkan akan membocorkan rahasia istana.

"Lewat 8 bulan, satu tahun lewat, 2 tahun lewat, 3 tahun lewat, 4 tahun lewat, Rocky lupa kalau dia pernah mengatakan itu. Tapi jejak digitalnya masih ada," kata Mahfud.

Mahfud dilantik menjadi Menko Polhukam oleh Presiden Jokowi pada 2019 lalu. Setelah 4 tahun menjabat, ia memutuskan mundur lantaran menjadi salah satu kontestan Pilpres 2024.

Dia dipasangkan dengan Ganjar Pranowo sebagai pasangan calon yang diusung oleh PDIP, PPP, Hanura, dan Perindo. 

Pesan pada Kemenko Polhukam

Pada kesempatan itu,  Mahfud juga menyampaikan sejumlah pesan pada aparat yang ada di bawah tujuh deputi Kemenko Polhukam. Menurut dia, pekerjaan rumah tersebut harus dilanjutkan karena sudah ada Instruksi Presiden (Inpres) dari Jokowi.

Pertama, kata Mahfud mengenai utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Mahfud mengatakan, dalam pertemuannya dengan Jokowi itu ia menjelaskan Kemenko Polhukam pernah diberi Inpres untuk mulai menagih utang-utang tunggakan BLBI.

"Saya katakan, 'Bapak pernah beri inpres kepada kami untuk mulai tagih utang-utang tunggakan BLBI, waktu itu jumlahnya Rp 111 triliun, dalam 1,5 tahun kami bekerja sekarang ini sudah terkumpul tagihan yang sudah ada di tangan kami sebesar Rp 35,7 triliun, yang kalau dihitung dalam persentase itu 31,8 persen," katanya.

Pada pertemuan itu, Ia mengungkapkan alasan masih adanya tagihan karena ada yang masih mengelak, ingin tidak membayar, dan terus menawar bahwa nominal utangnya tidak demikian.

"Ini sudah kami tutup yang sudah bayar, sudah selesai, yang sisanya tetap harus ditagih Pak Presiden karena itu berdasarkan impres," katanya.

Menurut Mahfud, BLBI harus ditagih lantaran utang terhadap uang negara.

Permasalahannya selanjutnya, menyangkut penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ia menegaskan bahwa penyelesaian permasalah tersebut berfokus pada sudut korban.

"Saya katakan, penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu ada 12, itu secara hukum sangat sulit, itu dia hukumnya berjalan, nanti dibicarakan oleh pemerintah atau Kemenko Polhukam berikutnya," kata Mahfud.

Namun, yang sudah diselesaikan oleh Kemenko Polhukam di bawah kepemimpinannya berdasarkan inpres, yakni di luar penyelesaian non-yudisial yang berfokus pada korban bukan pelaku.

"Saya katakan, PBB kali ini, saya sudah belasan tahun tidak memuji Indonesia, kali ini berpidato resmi menghargai pemerintah Indonesia yang telah melakukan langkah penyelesaian HAM dari sudut korban," kata Mahfud.

Mahfud mengatakan, pelaku masih terus dicari namun di sisi lain juga menyantuni korban terlebih dahulu.

Selain itu, ia pun memamerkan hasil di dewan HAM PBB yang memberikan penghargaan pada Jokowi yang telah melangkah maju dalam penyelesaian HAM.

"Bahkan dalam tiga kali sidang HAM berturut-turut selama tiga tahun, waktu saya jadi Menko Polhukam, itu Indonesia tidak pernah disebut lagi oleh Dewan PBB sebagai negara bermasalah, sebelumnya selalu disebut," kata Mahfud.

Terakhir, ia menyatakan tak setuju dengan adanya pembahasan mengenai RUU MK atas inisiatif DPR yang akan direvisi lagi.

"Saya katakan, 'Bapak Presiden, saya tidak setuju dan saya hentikan pembahasan itu karena aturan peralihannya itu tidak adil bagi hakim yang ada sekarang," kata Mahfud. 




Reporter: Ade Rosman