Tiga Ahli Hukum Narasikan Dirty Vote, Film tentang Kecurangan Pemilu

YouTube Dirty Vote/@DirtyVote
Ilustrasi, adegan pembuka Dirty Vote, film yang mengungkap kecurangan Pemilu 2024.
Penulis: Mela Syaharani
11/2/2024, 15.30 WIB

Ekspedisi Indonesia Baru merilis sebuah film dokumenter berjudul Dirty Vote pada Minggu (11/2). Film berdurasi dua jam yang disutradarai Dandhy Laksono ini, menceritakan sebuah desain kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2024.

Film ini merupakan dokumenter eksplanatori yang dibawakan oleh tiga ahli hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Ketiga ahli hukum ini menjelaskan setiap peristiwa secara rinci yang didukung oleh fakta, data, bukti, hingga penjelasan menurut perundang-undangan dari setiap tindakan kecurangan menuju Pemilu 2024.

“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres atau cawapres. Tapi hari ini, kita akan menonton film ini sebagai sesama warga negara,” tulis Dandhy dalam akun instagram miliknya, Minggu (11/2).

Film ini diawali dengan cuplikan-cuplikan pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yang awalnya menyatakan anak-anaknya belum tertarik politik, hingga deklarasi Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden, yang mendampingi Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024.

Alur film kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai Pemilu satu putaran, serta peta sebaran suara di Indonesia mulai dari Jawa, Sumatra, dan Papua. Feri menjelaskan, untuk memperoleh kemenangan Pemilu satu putaran, diperlukan kemenangan pada 20 provinsi dengan bobot masing-masing suara sebanyak 20%.

Feri menyampaikan pentingnya untuk tahu pemimpin setiap wilayah di Indonesia, dan sejak 2021 Jokowi telah menunjuk 20 penjabat gubernur di 20 provinsi. Menurutnya, Presiden berhak menunjuk sekaligus memberikan pengaruh luar biasa untuk penunjukkan bupati/wali kota.

"Akan tetapi dalam penunjukkan ini Jokowi dan Mendagri Tito Karnavian tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Harusnya dilakukan transparan dan terbuka serta mendengarkan aspirasi pemerintah dan masyarakat daerah,” ujarnya.

Zainal menambakan, penyalahgunaan pejabat kepala daerah atau PJ, sangat mungkin menjadi faktor untuk memenangkan Pemilu, khususnya untuk sebaran wilayah. Menurutnya, potensi kecurangan dapat hadir dalam bentuk memobilisasi birokrasi, izin lokasi kampanye, dan memberikan sanksi atau membiarkan kepala desa yang tidak netral.

Film ini juga mengupas secara perinci bagaimana para pejabat negara menggunakan fasilitas negara dan kekuasaan yang dimiliki, untuk melancarkan aksi kampanye Pemilu 2024.

Pada film ini, Bivitri Susanti menyoroti bagaimana pembagian bansos di tahun-tahun biasa dibandingkan tahun-tahun pemilu. Tidak hanya bantuan sosial, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan populis lainnya, gaji PNS, TNI, Polri, dan PPPK, yang naik 8% tahun ini.

Bivitri juga membahas aksi para pejabat yang aktif melakukan kampanye, baik itu secara terselubung maupun yang dilakukan terang-terangan. Film ini juga memerinci bagaimana kinerja Bawaslu dan KPU, gejolak dalam partai politik, perubahan UU yang diputuskan MK.

Ia menjelaskan, dalam film ini ada tujuh poin yang menjadi sorotan, yakni kontradiksi MK, cara instan ubah UU tanpa DPR, konflik kepentingan, pendapat hukum 9 hakim konstitusi, semua permohonan ditolak namun mengabulkan satu permohonan spesifik, keputusan langsung berlaku, hingga permohonan dicabut namun didaftarkan kembali di hari libur.

“Semua rencana ini tidak didesain secara semalam, juga tidak didesain sendirian. Sebagian besar rencana terstruktur untuk mengakali Pemilu ini,” kata Feri.

Reporter: Mela Syaharani