Media asing The Economist menyoroti keterlibatan Presiden Jokowi atau Joko Widodo dalam Pemilu 2024. Menurut media yang berbasis di Inggris ini, Jokowi meninggalkan kursi kepresidenan dengan cara yang kurang baik ketimbang saat ia menjabat.
Dalam editorial, The Economist mengungkapkan janji Jokowi ketika pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014. “Jokowi meraih kekuasaan dengan janji menentang para elit yang mengatur negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sejak jatuhnya era diktator Soeharto pada 1998,” kata The Economist.
“Namun, alih-alih mengalahkan demokrasi, pialang kekuasaan, Jokowi justru ikut bergabung dengan mereka,” The Economist menambahkan.
The Economist menyebut Presiden Jokowi mendukung pasangan capres dan cawapres nomor urut 2 yakni Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.
Media itu menarasikan Prabowo sebagai mantan jenderal dan menantu Soeharto, yang memiliki catatan tentang hak asasi manusia yang negatif, serta ambivalensi terhadap demokrasi.
The Economist juga menyebut Gibran Rakabuming merupakan putra sulung Jokowi yang bisa mencalonkan diri sebagai cawapres berkat saudara ipar Presiden yakni Anwar Usman.
Anwar Usman menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi ketika mencabut aturan tentang batasan usia untuk mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres yakni minimal 40 tahun.
Gibran yang berusia 36 tahun terancam tak bisa mencalonkan diri sebagai cawapres Prabowo. Berkat pencabutan aturan oleh Anwar Usman, Gibran bisa menjadi cawapres.
“Dukungan terhadap Jokowi menjadikan Prabowo sebagai favorit untuk memenangkan kursi kepresidenan,” kata The Economist.
Media asal Inggris itu juga menjelaskan bahwa Prabowo mengikuti Pilpres tiga kali yakni 2014, 2019, dan 2024.
The Economist menyebut pesaing Prabowo yakni Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo sebagai mantan gubernur yang kompeten. Media asing ini juga bercerita bahwa Anies dan Ganjar melaporkan gangguan saat kampanye Pemilu 2024 dan keterlibatan pejabat untuk mendukung Prabowo.
“Hal ini merupakan petanda yang mengkhawatirkan bagi Indonesia, dan merupakan akhir yang tidak layak bagi masa jabatan Jokowi,” kata The Economist.
Menurut The Economist, pengelolaan ekonomi di masa pemerintahan Presiden Jokowi memang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kinerja terbaik dalam beberapa tahun terakhir.
Namun Indonesia rentan terhadap penguatan dolar dan pergeseran aliran modal asing, sehingga masuk dalam ‘fragile five’ menurut Morgan Stanley. Fragile five merujuk pada negara-negara yang dianggap paling berisiko karena ketergantungan mereka pada investasi asing untuk mendorong pertumbuhan.
“Berkat manajemen yang hati-hati, keuangan negara membaik dan perekonomian menjadi lebih stabil. Indonesia tumbuh sekitar 5% per tahun dengan cukup konsisten,” ujar The Economist.
The Economist juga menyoroti pembangunan infrastruktur seperti jalan dan kereta api. Selain itu, mendesak perusahaan-perusahaan untuk mengolah nikel di dalam negeri.
“Jokowi mendukung pengembangan industri yang menyumbang setengah produksi dunia. Tata kelola yang lebih baik telah berkontribusi terhadap penurunan deforestasi yang selama ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar,” ujar The Economist.
Prabowo berjanji melanjutkan sebagian besar kebijakan Jokowi, sehingga meyakinkan investor. Mantan jenderal ini disebut mendukung skema besar yang dilakukan oleh Jokowi untuk membangun ibu kota negara atau IKN US$ 34 miliar.
“Ia (Prabowo) tampaknya ingin memperluas kebijakan proteksionis nikel ke sektor-sektor yang kurang menjanjikan. Namun hal ini ternoda oleh dugaan pelanggaran yang dilakukan pada era Soeharto,” kata The Economist.
Selain itu, The Economist menyebut Prabowo rentan atas pidatonya tahun lalu, ketika ia mengusulkan lima saran perdamaian antara Rusia dan Ukraina.
Penulis juga menyoroti menteri-menteri yang dinilai tidak sejalan dengan Presiden Jokowi terkait dukungan dalam Pilpres. Media asing ini menyebut nama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
“Kemenangan Prabowo tidak berarti akhir dari politik liberal di Indonesia: kemajuan yang telah dinikmati oleh 200 juta pemilih mungkin akan membuat mereka lebih menuntut di masa depan,” ujar The Economist.
“Meskipun demikian, kronisme yang terlihat jelas dalam kampanye Prabowo sangat mengecewakan. Kehadiran Jokowi pada 2014 merupakan angin segar. Namun kegagalan dalam memperkuat demokrasi di Indonesia, bahkan ketika perekonomian telah diperkuat, hal ini meninggalkan ‘bau busuk’,” The Economist menambahkan.