Memahami Kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif dalam Pemilu
Usai pencoblosan, muncul tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif atau TSM dalam Pemilu 2024. Tuduhan kecurangan ini disuarakan oleh tim sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 dan 03.
Tim Pemenangan Nasional Anies-Muhaimin (Timnas AMIN) mengatakan telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran untuk memperkuat adanya indikasi kecurangan. Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud juga menyuarakan tudingan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
"Kalau melihat temuan itu, bukan soal jumlahnya, tapi apakah temuan itu signifikan atau tidak. Menurut saya, banyak sekali pelanggaran yang sangat signifikan yang menggerus integritas Pemilu," kata Deputi Bidang Hukum TPN Ganjar-Mahfud Todung Mulya Lubis, beberapa waktu lalu.
Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu menerima laporan setidaknya ada 19 temuan kecurigaan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menjelaskan salah satu bentuk kecurigaan tersebut, adalah dugaan adanya intervensi terhadap pemilih dan penyelenggara Pemilu.
Apa Itu Kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif?
Kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilu merujuk pada praktik-praktik yang dilakukan secara terorganisir, serta meluas. Praktik-praktik yang dimaksud, dilakukan dengan tujuan memengaruhi hasil pemilihan secara tidak adil.
1. Terstruktur
Kecurangan terstruktur merujuk pada praktik-praktik yang terorganisir dan direncanakan dengan baik. Ini tidak hanya terjadi secara acak atau sporadis, tetapi melibatkan upaya yang terkoordinasi untuk memanipulasi hasil pemilihan.
2. Sistematis
Kecurangan sistematis mengacu pada praktik-praktik yang dijalankan secara konsisten dan diintegrasikan ke dalam sistem pemilihan itu sendiri. Ini bisa termasuk manipulasi dalam perhitungan suara, penghapusan pemilih dari daftar pemilih, atau pembatasan akses ke tempat pemungutan suara bagi kelompok tertentu.
3. Masif
Kecurangan masif dapat diartikan bahwa praktik-praktik curang dilakukan dalam skala besar, yang dapat memengaruhi hasil keseluruhan pemilihan. Ini mencakup berbagai teknik penipuan, intimidasi, atau penggunaan sumber daya pemerintah untuk memengaruhi hasil dengan cara yang tidak adil.
Jika tiga elemen ini terjadi dalam Pemilu, maka akan menciptakan situasi di mana integritas pemilihan dipertanyakan secara serius dan dapat mengancam demokrasi itu sendiri. Kecurangan semacam ini, dapat mengarah pada legitimasi yang dipertanyakan dari pemerintahan yang terpilih, dan dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses demokratis.
Dalam Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018, pelanggaran administrasi Pemilu yang terjadi secara terstruktur, sistematif, dan masif dibagi menjadi dua objek.
Pertama, perbuatan yang melanggar tata cara, prosedur, atau mekanisme berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Kedua, adanya unsur perbuatan atau tindakan yang menjanjikan memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilu atau pemilih secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Syarat Pelaporan Kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif
Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Peraturan Bawaslu No 8/2018 menyebutkan dugaan pelanggaran administratif dalam Pemilu dapat dilaporkan, jika memenuhi syarat formil dan materiil. Syarat formil yang dimaksud, diatur dalam Pasal 25 ayat (6), yakni identitas pelapor dan terlapor.
Sementara, syarat materiil termaktub dalam Pasal 25 ayat (7) Perbawaslu 8/2018, yakni objek pelanggaran, yang mencakup sebagai berikut:
- Waktu peristiwa
- Tempat peristiwa
- Saksi
- Bukti lainnya
- Riwayat/uraian peristiwa
Dalam syarat materil, laporan dugaan pelanggaran administrasi terstruktur, sistematif dan masif, paling sedikit disertai dua alat bukti dengan ketentuan pelanggaran terjadi paling sedikit 50% dari jumlah daerah yang menjadi lokasi pemilihan.
Alat bukti yang dimaksud, antara lain keterangan saksi, surat dan tulisan, petunjuk, dokumen elektronik, keterangan pelapor atau terlapor dalam sidang pemeriksaan dan keterangan ahli.
1. Alat Bukti Keterangan Saksi
Alat bukti keterangan saksi, adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang melihat, mendengar secara langsung atau mengalami peristiwa pelanggaran TSM. Bukti keterangan saksi, dapat ditunjukkan dan dilampirkan dalam bentuk salinan oleh Pengawas Pemilu dalam pemeriksaan atas permintaan majelis pemeriksa.
2. Alat Bukti Surat dan Tulisan
Alat bukti berupa surat dan tulisan terdiri dari dokumen hasil pengawasan pemilu, dokumen tertulis lainnya yang relevan dengan fakta. Alat bukti yang dikumpulkan ini, mengindikasikan adanya pelanggaran administratif, yang bersifat terstruktur, sistematif dan masif.
3. Alat Bukti Petunjuk
Alat bukti petunjuk, adalah merupakan bukti adanya perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan pelanggaran itu sendiri, menandakan telah terjadi pelanggaran administrasi terstruktur, sistematif dan masif.
4. Alat Bukti Elektronik
Alat bukti dokumen elektronik, adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya.
Setiap alat bukti elektrobnik yang dimaksud ini, dapat dilihat, ditampilkan, atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya. Kemudian, berupa huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi, yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
5. Keterangan Perlapor atau Terlapor
Bukti keterangan pelapor dan terlapor disampaikan secara langsung atau melalui kuasa yang ditunjuk. Penyampaiannya dilakukan dalam sidang pemeriksaan laporan Pelanggaran Administratif Pemilu atau Pelanggaran Administratif Pemilu Terstruktur, Sistematis dan Masif.
6. Keterangan Ahli
Keterangan ahli dalam dugaan adanya pelanggaran TSM, adalah merupakan keterangan yang disampaikan oleh seseorang sesuai dengan kompetensi dan keahliannya dalam sidang pemeriksaan.
Syarat Pemungutan Suara Diulang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu, pemungutan suara dapat dilakukan ulang jika terjadi bencana alam, atau adanya kerusuhan yang menghambat proses pemungutan suara.
"Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan, yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan," tulis Pasal 372 ayat (1) UU Pemilu.
Selain bencana dan kerusuhan, proses pemungutan suara dalam Pemilu juga dapat diulang apabila ditemukan adanya praktik-praktik kecurangan dalam proses yang sudah dilakukan.
Hal ini diatur dalam Pasal 372 ayat (2) UU Pemilu, yang memerinci beberapa bentuk kecurangan atau keadaan yang membuat proses pemungutan suara harus diulang. Bentuk kecurangan yang dimaksud, antara lain:
- Pembukaan kotak dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamat, pada surat suara yang sudah digunakan.
- Petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah, dan/atau.
- Pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.
Adapun, berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 membagi pelaksanaan pemungutan suara ulang menjadi dua kategori, yakni berdasarkan rekomendasi Pengawas Pemilu yang kemudian diputuskan oleh KPU Kabupaten/Kota dan pemungutan suara ulang pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), berdasarkan putusan MK.
1. Berdasarkan Keputusan KPU
Pelaksanaan pemungutan suara ulang berdasarkan keputusan KPU dilakukan paling lama 10 hari setelah pemungutan suara. Untuk data pemilih sendiri, tidak dilakukan pemutakhiran data.
Pemilih yang karena keadaan tertentu, dapat menggunakan hak pilih di TPS lain yang juga melaksanakan pemungutan suara ulang. Keadaan tertentu yang dimaksud, antara lain tengah menjalankan tugas di tempat lain saat pemungutan suara, rawat inap di RS atau puskesmas, penyandang disabilitas dipanti sosial/rehabilitasi.
Kemudian, pemilih yang sedang menjalani rehabilitasi narkoba, menjadi tahanan, tugas belajar, pindah domisili, tertimpa bencana alam dan bekerja di luar domisilinya.
Untuk logistik surat suara, ditetapkan masing-masing pemilihan sebanyak 1.000 setiap kabupaten untuk Pilpres, atau setiap Dapil untuk pemilihan anggota legislatif, baik DPR, DPD, maupun DPRD.
Hasilnya pemungutan suara ulang berdasarkan keputusan KPU ini, tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun, hanya disebut prosesnya mutatis mutandis dengan pemungutan suara.
2. Berdasarkan Putusan MK
Pemungutan suara ulang yang dilakukan pasca putusan MK, dilakukan dengan tidak memutakhirkan data pemilih. Meski demikian, panitia pemungutan suara (PPS) membubuhkan catatan terhadap pemilih yang meninggal dunia, perubahan status menjadi TNI/Polri, dan pindah domisili.
Hasil pemungutan suara ulang yang dilakukan pasca putusan MK, ditetapkan oleh Keputusan KPU, yang kemudian disampaikan kepada MK dan Bawaslu.