Usai Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY diangkat menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang, buku soal cawe-cawe Jokowi karya Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendadak viral. Padahal, buku setebal 27 halaman tersebut, telah diluncurkan sejak 26 Juni 2023, meski hanya untuk kalangan terbatas, yakni para kader Partai Demokrat.
Buku berjudul 'Pilpres 2024 & Cawe-Cawe Presiden Jokowi, The President Can Do No Wrong' ini, mengulas pandangan SBY terkait istilah cawe-cawe yang menyeruak di publik menjelang Pilpres 2024.
Dalam buku ini, SBY menyoroti sikap Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yang menyatakan akan melakukan cawe-cawe politik. Dalam paparannya, SBY mengungkapkan lima poin terkait sikap Jokowi tersebut.
Poin-poin Utama Buku Cawe-cawe Politik yang Ditulis SBY
Dalam bukunya, SBY memberikan pandangannya terkait sorotan publik terhadap Jokowi, dimana banyak kalangan menganggap Kepala Negara ikut mengatur siapa-siapa yang diharapkan akan maju sebagai calon presiden dan siapa yang tidak diharapkan maju.
Berikut ini beberapa poin utama isi buku 'Pilpres 2024 & Cawe-Cawe Presiden Jokowi, The President Can Do No Wrong', yang ditulis oleh SBY.
1. Cawe-cawe Jokowi itu Buat Kepentingan Siapa?
SBY mengatakan publik tidak seharusnya menilai Presiden Joko Widodo salah, ketika mengungkapkan cawe-cawe politik dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara. Meski demikian, ia menggarisbawahi kata 'cawe-cawe' yang digunakan.
Sebab, kepentingan bangsa dan negara, khususnya jika dikaitkan dengan Pilpres 2024 harus tepat dan tidak bias. Menurut SBY, kepentingan nasional berbeda dibandingkan kepentingan politik seorang Presiden, atau partai politik (Parpol).
Ia memaparkan, beberapa tingkatan kepentingan negara, mulai yang bersifat hidup matinya sebuah negara. Diikuti dengan kepentingan negara yang vital dan kepentingan besar dan seterusnya.
Menurutnya, jika dikatakan bahwa cawe-cawe yang dilakukan semata demi kepentingan bangsa dan negara, maka tugas Kepala Negara-lah untuk meyakinkan rakyat. Pasalnya, yang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden adalah rakyat, bukan badan legislatif seperti MPR.
2. Perihal Dua Paslon dalam Pilpres 2024
Dalam bukunya, SBY juga menyorot mengenai informasi yang beredar, yang menyebutkan bahwa Jokowi hanya menghendaki dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
SBY mengatakan hal ini menjadi salah, ketika tindakan yang diambil melanggar hukum dan atau menyalahgunakan kekuasaan, demi mencegah terjadinya munculnya pasangan capres-cawapres yang ketiga. Penyalahgunaan kekuasaan menjadi salah satu poin yang dibahas cukup terperinci oleh SBY dalam buku ini.
"Apabila Pak Jokowi bersama pembantunya-pembantunya bekerja all out agar para pemimpin parpol yang berada dalam koalisi pemerintahan tidak membentuk pasangan ketiga disertai semacam ancaman, ya inilah yang bisa menjadi masalah," tulis SBY dalam bukunya, dikutip Kamis (22/2).
Menurut SBY, jika langkah tersebut benar-benar dijalankan, maka Kepala Negara melakukan politik tebang pilih demi mewujudkan keinginannya. Ia menjelaskan, tindakan ini justru mengingkari sumpah yang diucapkan saat pelantikan Presiden, yang berbunyi ".... akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya".
SBY juga menyoroti langkah menghalang-halangi penegakan hukum atau obstruction of justice, yang jika dilakukan demi menghalangi munculnya pasangan capres-cawapres ketiga, akan menguatkan pandangan bahwa hukum bisa dipermainkan.
3. Tekanan untuk Menghalangi Anies Baswedan Menjadi Capres
Dalam bukunya, SBY juga menyoroti soal pandangan yang beredar di publik, terkait ketidaksukaan Jokowi pada Anies Baswedan. Menurutnya, hal ini tidak bisa disalahkan, jika memang benar. Sebab, menyukai seseorang atau tidak menyukainya, merupakan hak masing-masing individu.
Pun demikian dengan adanya pandangan Jokowi akan melakukan manuver politik agar Anies tidak dapat menjadi calon presiden dalam Pilpres 2024. Hal ini, menurut SBY juga tidak salah, dengan catatan langkah politik yang dilakukan tidak melanggar Undang-Undang (UU).
Namun, jika yang dilakukan adalah mencari-cari kesalahan atau mengganggu dinamika internal partai yang mendukung pencalonan Anies, maka hal tersebut dinilai SBY akan menjadi langkah yang salah.
Khusus untuk poin ini, SBY mengangkat riuh yang terjadi kala partai besutannya, Partai Demokrat, 'dipermainkan' oleh lingkar kekuasaan pada 2023 lalu.
Ini mengacu pada kejadian yang dilakukan oleh Moeldoko, yang menjabat sebagai Kepala Staf Presiden, hendak mengambil alih pucuk pimpinan Partai Demokrat dari AHY. Manuver politik ini terhenti ketika Mahkamah Agung (MA) menolak upaya peninjauan kembali atau PK yang diajukan Moeldoko terhadap SK Menkumham tentang kepengurusan Partai Demokrat.
Sengketa yang terjadi di internal Partai Demokrat tersebut, sengaja diangkat SBY, untuk mengingatkan publik bahwa MA masih menjadi badan yang independen dan bebas dari tekanan. Selain itu, penolakan PK Moeldoko ini juga dikatakan SBY, bukti bahwa Jokowi tidak pernah memberikan restu.
"Pak Jokowi menjelaskan secara panjang lebar bahwa intinya beliau tidak tahu menahu atas apa yang dilakukan oleh Moeldoko. Posisi Partai Demokrat, termasuk saya, tetap memercayai dan memegang apa yang disampaikan Pak Jokowi tersebut sebagai kebenaran," ujar SBY dalam bukunya.
4. Dukungan Jokowi untuk Salah Satu Paslon
SBY juga menilai upaya endorsement atau dukungan yang diberikan oleh Jokowi kepada salah satu paslon capres-cawapres, sebagai hal yang lumrah. Menurutnya, hal tersebut sama sekali tidak salah.
Ia mengatakan, langkah politik untuk mendukung salah satu paslon capres-cawapres bisa dilakukan. Dengan catatan, tidak menggunakan sumber daya negara untuk menyukseskan kandidat yang dijagokan.
"Jika kemudian perangkat negara, termasuk fasilitas dan uang negara digunakan untuk itu, di samping tidak etis juga melanggar undang-undang," kata SBY.
Terkait dengan kemunculan dua putra Jokowi dalam belantika politik Indonesia, SBY mengatakan hal tersebut tidak salah dan publik sebaiknya tidak menghakimi. Pasalnya, setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk memilih dan hak untuk dipilih.
Oleh karena itu, dua putra Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka, dan Kaesang Pangarep, memiliki hak yang sama dengan warga negara pada umumnya. Namun, SBY menggarisbawahi tampilnya dua putra Jokowi tersebut, hendaknya bersih dari tindakan-tindakan politik yang melanggar UU.
5. Menyetir Parpol Terkait Capres dan Cawapres
Poin terakhir dalam buku yang ditulis SBY menyoroti pengakuan dan pernyataan sejumlah pimpinan partai politik, baik secara terbuka maupun tertutup, bahwa Jokowi yang akan menentukan dan memberikan kata akhir siapa pasangan capres-cawapres yang mesti diusung oleh partai-partai politik.
Menurut SBY, jika ini memang benar, maka Jokowi tidak dapat disalahkan, dan tidak tepat jika disebut melanggar etika. Justru, jika informasi ini benar adanya, maka yang harus dikritisi adalah para pimpinan parpol yang tidak menolak peran Jokowi dalam penentuan capres-cawapres.
Ia menjelaskan, sepanjang yang terjadi antara Presiden dan para pimpinan parpol adalah berdasarkan kesepakatan, serta tidak bertentangan dengan UU, maka hal tersebut sah dan tidak boleh dipermasalahkan.