Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyoroti dugaan politik uang untuk untuk kemenangan pemilihan legislatif. Dugaan tersebut berdasarkan temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyita uang Rp 252,2 juta dari Panitia Pemantau Kecamatan (PPK) di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
Sekretaris Jenderal KIPP Kaka Suminta mengatakan kasus politik uang tersebut diduga terkait dengan pemilihan legislatif. Ia mengatakan mendapat informasi dari calon legislatif maupun tim caleg yang merasa dicurangi.
“Peluang terjadinya jual beli suara antar caleg yang kansnya dapat kursi. Antara caleg dengan perolehan paling banyak dan kedua jika ada satu kursi dan caleg perolehan kedua dan ketiga jika ada dua kursi,” kata Kaka saat dihubungi, Senin (26/2).
Pekan lalu, Bawaslu menyita Rp 252,2 juta dari 10 Panitia Pemantau Kecamatan (PPK) di Kabupaten Wonosobo. Uang tersebut diberikan oleh anggota KPU Wonosobo dengan instruksi untuk pengarahan dukungan pada salah satu pasangan calon di Pilpres 2024.
Kaka mengatakan, kecurangan tersebut dapat terjadi lantaran sebagian besar caleg tak memiliki akses ke formulir C hasil di seluruh daerah pemilihan (dapil).
“Pergeseran dokumen C hasil dari TPS ke PPK melalui PPS (Panitia Pemungutan Suara) memungkinkan ada celah kosongnya pengawasan dan pantauannya publik,” kata Kaka.
Sebelumnya, politikus PDIP dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendengar kabar mengenai operasi limpahan suara untuk membuat partai tertentu atau X yang melenggang ke parlemen. Munculnya kabar ini seiring Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menghentikan proses rekapitulasi suara di tingkat kecamatan.
"Ada operasi untuk menyelamatkan partai tertentu yang sudah kebelet pengen masuk DPR," kata politikus PDIP, Deddy Yevry Sitorus, dihubungi Selasa (20/2).
Deddy mengatakan mendapatkan laporan tersebut dari beberapa orang. "Saya mendengar informasi dari masyarakat, itu informasi di bawah," kata dia.
Di tempat terpisah, politikus PKB Syaiful Huda mengatakan hal yang serupa. "Harus dicegah dan tak boleh terjadi," kata dia.
Syaiful mengatakan partainya mengantisipasi kecurangan tersebut. "Yang jelas kami antisipasi di lapangan, bahwa demokrasi kita gak boleh dicurangi. Resikonya tinggi untuk masa depan," kata dia.
Terdapat dua skenario penggelembungan suara partai yang dekat penguasa itu. Skenario pertama, kata Deddy, partai khusus itu mendapat limpahan suara dari partai-partai yang juga tak lolos ambang batas parlemen atau parliamentary threshold empat persen.
"Saya sampaikan ke publik supaya berjaga. Supaya partai-partai (yang diambil suaranya) itu tidak dirugikan," kata Deddy.
Deddy mengatakan kemungkinan partai yang dicuri suaranya merupakan partai yang tidak lolos parliamentary threshold. "Karena nggak ada peduli. Mungkin nggak ada juga saksinya nanti pas rekapitulasi," kata dia.
Skenario kedua, partai khusus itu bisa mendapatkan tambahan suara dari kertas suara yang tidak terpakai. Perkiraannya saat ini sekitar 15 persen kertas suara yang tidak terpakai di setiap TPS.
"Lalu ada kertas suara rusak atau tidak sah. Kan enggak ada yang mempersoalkan itu kalau dikasih ke partai tertentu," kata Deddy.
Deddy mengatakan operasi tersebut berjalan di saat KPU menghentikan rekapitulasi suara di kecamatan. Dia mengatakan tidak ada dasar hukum bagi KPU menghentikan rekam suara C1 di tingkat kecamatan. "Tak ada itu landasan hukumnya atau kegentingannya," kata dia.
Sehingga dia menyarankan KPU melanjutkan perhitungan di kecamatan. Alasan KPU karena kesalahan input Sirekap tak dapat diterima. "Padahal Sirekap nggak ada urusannya dengan penghitungan manual," kata dia.