Bivitri Susanti Nilai Pilpres Ulang Masih Mungkin untuk Dilaksanakan

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Pakar Hukum Tata Negara Bvitri Susanti saat diskusi Kedai Kopi OTW 2024 \"Nyawa Demokrasi di Tangan Jokowi\" di Jakarta, Selasa (15/8).
Penulis: Ade Rosman
1/4/2024, 20.13 WIB

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai Pemilihan Presiden-Wakil Presiden 2024 ulang tak akan terlalu rumit untuk dilakukan. Dia menyampaikan hal tersebut saat menyoroti Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres yang saat ini tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).

Berdasarkan permohonan PHPU yang diajukan oleh kubu pasangan calon nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan pasangan calon nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, kedua kubu itu meminta digelar pemungutan suara ulang (PSU) Pilpres 2024.

“Itu memungkinkan sekali. Jangan lupa, ini cuma pilpres, enggak pileg lagi. Daftar pemilih sudah ada. Jadi ini tidak serumit bikin dari nol, tapi ini sudah setengah, mungkin sepertiga jalan tinggal gitu,” ujarnya dalam diskusi ‘Arah Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Sengketa Pemilu Presiden 2024’ di Jakarta, Senin (1/4).

Berdasarkan hal itu, kata Bivitri, masyarakat jangan sampai terkunci dengan asumsi bahwa tak mungkin mengulang kembali Pilpres 2024.

“Jangan kita mikirnya sudah langsung 'ah kasian KPU enggak sanggup' ya jangan kasihani, tugas KPU memang itu. Jangan dikunci oleh asumsi-asumsi enggak mungkin ada Pemilu ulang, kemudian kita menyingkirkan keadilan substantif bahwa ini adalah pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia,” katanya.

Pada kesempatan itu, Bivitri juga menilai hukum acara sengketa Pilpres 2024 yang saat ini tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) terskesan mengerangkeng para pihak yang terlibat, dan berdampak pada tidak terkuaknya kebenaran substantif terkait dugaan kecurangan Pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif.

"Menurut saya, kalau Mahkamah Konstitusi masih dikerangkeng oleh hukum acara, yang sebenarnya membatasi pencarian keadilan yang substantif, maka jawabannya tidak," katanya.

Salah satu kerangkeng yang disebutnya yakni perihal sejumlah pembatasan dalam sidang yang telah dimulai sejak pekan lalu tersebut.

"Jeruji itu salah satunya adalah waktu, pembatasan waktu. Yang implikasinya kepada pembatasan jumlah saksi, cari saksi diperiksa. Jadi, banyak implikasinya," katanya.

Ia pun membandingkan waktu yang tersedia antara sengketa Pilpres selama 14 hari dan Pileg selama 30 hari. Bivitri juga menyoroti pembatasan saksi ahli dan fakta yang dapat dihadirkan dalam sidang yang berjumlah 19 orang.

Serta durasi yang dibatasi, untuk saksi fakta hanya boleh bersaksi 15 menit, sedangkan ahli 20 menit. Durasi itu termasuk dengan pendalaman.

"Pengalaman saya sebagai ahli, tetapi dalam perkara-perkara lain, ya, PUU pengujian undang-undnag di MK, saya tahu persis ketika menggali persoalan-persoalan itu pasti panjang, enggak mungkin 15-20 menit. Itu, ya, mungkin tetapi nanti mendapatkan hal yang seharusnya kita cari di luar kerangkeng itu. Itu yang saya maksud dengan tidak mungkinnya dalam hal itu. Mungkin enggak? Ya, mungkin tetapi nanti sama aja kayak teman-teman enggak puas, 'aduh konferensi persnya cuma segini, enggak sempat nanya' itu yang akan terjadi seperti itu," katanya.

Lebih jauh, Bivitri menyebut aturan 14 hari pernah dikesampingkan oleh MK saat 2003 silam. Berdasarkan itu, menurut Bivitri, hakim konstitusi saat ini dapat melakukan hal serupa.

"Menurut saya sih mungkin aja karena MK pada 2003 itu pernah dia sendiri yang mengesampingkan, jadi, istilahnya mengesampingkan dulu teman-teman baru kemudian belakangan pada perkara kedua dibatalkan, mengesampingkan pasal 50 UU MK 2003. Jadi, waktu MK waktu pertama kali berdiri," kata Bivitri.

Reporter: Ade Rosman