Sosok Robert Bonosusatya alias RBS belakangan menjadi sorotan publik setelah ia diperiksa menjadi saksi dalam perkara dugaan korupsi di PT Timah Tbk pada Senin (1/4). Namanya kemudian juga disinggung oleh anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Mufti Aimah Nurul Anam saat rapat kerja di Senayan.
Dalam rapat kerja dengan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada Senin (1/4) Mufti menyebut adanya sosok mafia di balik kasus korupsi tata niaga timah di BUMN PT Timah tengah diusut Kejaksaan Agung. Perkara tindak pidana korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terjadi dalam rentang 2015 hingga 2022 itu menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 271 triliun.
"Ada seorang mafia besar yaitu kami dapat infonya itu Robert Bonosusatya," kata Mufti dalam rapat.
Mengenai keterlibatan Robert di perkara korupsi timah belum benderang. Atas alasan itulah Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Kuntadi mengatakan tim penyidik masih terus melakukan penelusuran termasuk bertanya langsung pada Robert menelusuri kaitannya dengan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Berdasarkan keterangan Kejaksaan Agung sebelumnya, PT RBT melalui suami Sandra Dewi, Harvey Moeis meminta Direktur Utama PT Timah Riza Pahlevi untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah. Karena itu pemeriksaan ini diarahkan untuk memastikan keterkaitan Robert dengan PT RBT.
“Apakah yang bersangkutan sebagai pengurus, apakah yang bersangkutan sebagai BO (benefit ownership) atau memang tidak ada kaitannya sama sekali,” kata Kuntadi, Senin (1/4).
Ia menyebut, pemeriksaan atau klarifikasi dilakukan untuk menghindari kesalahan. Oleh karena itu pemeriksaan juga dilakukan dengan bersandar pada alat bukti. Meski begitu ia mengatakan tidak bisa menyampaikan alat bukti yang sudah dipegang penyidik.
“Yang jelas kami melihat ada urgensi yang perlu kami klarifikasi kepada yang bersangkutan untuk membuat terang peristiwa pidana ini,” kata Kuntadi.
Setelah pemeriksaan Senin lalu, Robert tidak mau berkomentar terkait dugaan keterlibatannya dengan RBT. Dia hanya mengatakan bahwa dirinya datang ke Kejagung sebagai warga negara yang taat hukum.
"Sebagai warga negara yang baik, saya sudah melakukan kewajiban, mentaati peraturan yang ada, saya sudah diperiksa," ujarnya kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Senin (1/4).
Usut Aktor Intelektual Korupsi Timah
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman dalam somasi terbukanya yang ditujukan kepada Jampidsus Kejaksaan Agung menduga bahwa Robert merupakan aktor intelektual dalam rasuah yang melilit PT Timah. Robert juga disebut menjadi penikmat uang hasil perkara dugaan korupsi tambang timah.
Boyamin juga mendorong Kejaksaan Agung agar segera menetapkan Robert sebagai tersangka. Boyamin melanjutkan, Robert merupakan sosok yang diduga berperan menyuruh Harvey Moeis dan Helena Lim untuk dugaan memanipulasi uang hasil korupsi dengan modus penyaluran dana sosial perusahaan alias corporate social responsibility (CSR).
Lebih jauh, Boyamin menduga Robert sebagai penikmat utama keuntungan dan pemilik sesungguhnya dari perusahaan-perusahaan pelaku penambangan timah ilegal. "Sehingga semestinya RBS dijerat dengan ketentuan tindak pidana pencucian uang (TPPU) guna merampas seluruh hartanya guna mengembalikan kerugian negara dengan jumlah fantastis," kata Boyamin kepada Katadata pada Rabu (3/4)
MAKI juga telah menyerahkan sejumlah bukti berisi dokumen kepemilikan atau afiliasi perusahaan terkait dan dugaan aliran uang selama periode 2015-2022. "Dokumen dugaan keterkaitan RBS dalam perkara ini sudah kami serahkan kepada Penyidik pagi tadi," ujar Boyamin.
Seret 16 Tersangka
Dalam perkara korupsi timah ini, Robert disebut pernah memiliki saham di PT Refined Bangka Tin atau PT RBT. Dalam kasus timah, Kejaksaan Agung sudah melakukan penggeledahan di kantor PT RBT pada Desember 2023 lalu.
Dalam kasus ini, Jampidsus Kejaksaan Agung telah menetapkan 16 orang sebagai tersangka. Dua tersangka yang menarik perhatian publik, yakni crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim selaku Manager PTPT Quantum Skyline Exchange alias QSE dan Harvey Moeis, selaku perpanjangan tangan PT RBT.
Melansir portal pengelolaan data perusahaan mineral dan batu bara Minerba One Data Indonesia atau MODI milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT Refined Bangka Tin (RBT) merupakan perusahaan yang beralamat di Kawasan Industri Jeletik Sungailiat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung.
Adapun komposisi kepemilikan saham PT RBT seluruhnya digenggam oleh warga negara Indonesia dengan pembagian ke sejumlah pihak, yakni Suparta 73%, Surianto 17% dan Frans Muller 10%. Selain menjadi pemegang saham mayoritas, Suparta juga Direktur Utama PT RBT. Suparta saat ini juga telah ditetapkan sebagai satu dari 16 tersangka yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung.
Sejatinya PT RBT telah menggenggam Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi timah di lahan seluas 150 hektare di Kabupaten Bangka. Perizinan tersebut berlaku selama 10 tahun sejak 16 Agustus 2021 sampai dengan 16 Agustus 2031.
Katadata sudah berupaya untuk menghubungi Pengacara Robert Bonosusatya, Harris Arthur Hedar untuk mengonfirmasi keterlibatan Robert dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah. Namun sampai naskah ini ditulis, Harris belum menanggapi pertanyaan yang diajukan.
Kerugian Negara dari Korupsi Timah Capai Rp 271 Triliun
Sebelumnya Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah, menyatakan bahwa nilai kerugian negara dalam dugaan korupsi PT Timah ini melebihi kasus PT Asabri yang mencapai Rp22,7 triliun. Namun, total kerugian ekonomi dan negara dari kasus tersebut belum dijelaskan secara detail.
Kejagung bersama ahli juga mencatat kerugian ekologis dari dugaan korupsi tata niaga komoditas timah ini mencapai Rp271 triliun. Namun, nilai tersebut belum final karena masih dalam proses penghitungan.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Bambang Hero Saharjo mengungkapkan, nilai kerugian yang dalam kasus korupsi PT Timah dihitung berdasarkan cakupan areal tambang meliputi kawasan hutan dan non kawasan hutan. Adapun taksiran kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah dalam kawasan hutan totalnya mencapai Rp 223,36 triliun dengan rincian biaya kerugian lingkungan Rp 157,83 triliun.
Selanjutnya kerugian ekonomi lingkungan Rp 60,27 miliar, dan pemulihan lingkungan Rp5,26 miliar sehingga totalnya Rp223,36 triliun. Kemudian total kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah di luar kawasan hutan (APL) mencapai Rp 47,70 triliun. Bila diuraikan kerugian lingkungan Rp 25,87 triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp 15,2 triliun, dan pemulihan lingkungan Rp 6,62 miliar.
"Kalau semua digabung kawasan hutan dan luar kawasan hutan, total kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," kata Bambang dalam konferensi pers di Kejagung, Senin (19/2) lalu.
Pada kesempatan yang sama Kuntadi mengatakan, perhitungan lingkungan atau ekologi yang dihitung Bambang akan ditambahkan dengan kerugian negara dalam perkara tersebut yang tengah diusut oleh Kejagung. Ia menyebutkan merujuk pemaparan Bambang, sebagian besar lahan yang ditambah oleh para pelaku termasuk ke dalam kawasan hutan dan area bekas tambah yang seharusnya dipulihkan atau direklamasi.