Pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang menyebut demokrasi di Indonesia tidak membutuhkan oposisi menuai kritik. Pakar komunikasi politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo menilai pernyataan Bamsoet berbahaya dalam menyikapi sistem demokrasi di Indonesia.
Bamsoet mengatakan pemerintahan di Indonesia membutuhkan demokrasi gotong-royong dan bukan oposisi. "Kita enggak butuh oposisi, kita butuh gotong-royong, kita butuh demokrasi gotong-royong dan tidak dibutuhkan lagi oposisi," kata Bamsoet di rumah Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Rosan Roeslan, Kamis (11/4).
Kunto mengatakan pelaksanaan politik gotong royong atau kekeluargaan merupakan intrik elit politik untuk mewujudkan konsep demokrasi keluarga atau family democracy. Praktik tersebut merujuk pada tindakan nepotisme di mana kekuasaan dan pengaruh dalam negara dikuasai oleh keluarga tertentu atau individu dalam keluarga.
"Pada akhirnya tidak ada kritik yang efektif seperti yang ditunjukkan saat jaman Orba dan juga yang terjadi pada akhir-akhir ini," kata Kunto saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Jumat (12/4).
Dia menilai adanya ide untuk menyisihkan pihak oposisi dapat memicu pelemahan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap rezim pemerintahan yang berkuasa. "Semua akan berujung justru tidak ada perwakilan rakyat yang benar-benar representatif ketika semua elit politik berkonsolidasi dengan alasan gotong-royong," ujar Kunto.
Di sisi lain, Kunto mengakui bahwa kontrol yang dilakukan oleh partai politik yang berada di luar pemerintahan belum optimal. Ini karena komposisi antara partai oposisi dan partai koalisi pendukung pemerintah cenderung berada di posisi tak seimbang.
"Seperti yang terjadi pada Pemerintahan Jokowi jilid 2, bagaimana praktik nepotisme berjalan demi kekuasaan belaka. Kita harus belajar, sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama," kata Kunto.
Pakar Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menjelaskan bahwa konsep 'oposisi' memang menjadi perdebatan dalam politik Indonesia pasca- Reformasi. Hal ini dikarenakan konsep 'oposisi' ini hanya ada di sistem parlementer, sementara Indonesia menerapkan sistem presidensial yang menerapkan musyawarah untuk mufakat.
"Namun demikian perlu dicarikan istilah yang tepat untuk 'oposisi', karena bagaimanapun juga demokrasi yang sehat perlu ada check and balances," kata Wasisto lewat pesan singkat WhatsApp pada Jumat (12/4).
Ajakan Koalisi Besar Dukung Prabowo-Gibran
Bambang Soesatyo menyatakan seluruh kubu yang berlaga di Pilpres 2024 dapat bergabung dalam satu koalisi besar di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto nanti.
Dia mengucapkan itu usai pertemuan Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud Md, Arsjad Rasjid dengan Rosan Roeslan.
Bamsoet berharap pertemuan itu dapat menjembatani partai politik pengusung Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud untuk bersatu dalam pemerintahan kedepan.
"Akhirnya dua sahabat bersama kembali setelah beberapa lama berada dalam dua kubu yang berbeda. Saya berharap pertemuan keduanya bisa menjembatani dua kubu yang bertarung pada Pilpres 2024 lalu untuk bersatu dalam koalisi besar pemerintahan Presiden Prabowo," kata Bamsoet.
Ia juga mengatakan agar para politikus tak gampang terbawa perasaan, lantaran menurutnya politik merupakan permainan sehingga kemenangan dan kekalahan merupakan satu bagian di dalamnya.
"Di dunia politik dikenal pameo no hard feeling. Jangan mudah sakit hati. Karena sesungguhnya 'politics is the games'. Kemenangan dan kekalahan merupakan bagian dari kehidupan setiap orang. Dalam politik kita bisa mati berkali-kali dan hidup berkali-kali," katanya.
Di sisi lain, ia mengatakan tak dibutuhkan oposisi dalam pemerintahan baru nanti. Menurutnya, yang terpenting adalah demokrasi gotong royong
"Dan enggak dibutuhkan lagi oposisi. Saya mendukung Pak Prabowo merangkul semua parpol untuk bersatu membangun bangsa ini ke depan," katanya.
Ia mengatakan, untuk sisi check and balances lebih mudah dimusyawarahkan jika nantinya terdapat perbedaan sikap.
"Lebih gampang (check and balance) justru. Karena kan kalau oposisi bicara pride. Kadang lari dari substansi, tapi kalau satu koalisi bisa bicara dari hati ke hati dan lebih baik untuk masyarakat," kata Bambang.