Kemenkes Ungkap 3 Sebab Kematian Akibat DBD Naik, 475 Orang Meninggal

ANTARA FOTO/Siswowidodo/aww.
Petugas melakukan pengasapan untuk pencegahan perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Banjarejo, Kota Madiun, Jawa Timur, Jumat (16/2/2024)
16/4/2024, 16.01 WIB

Kementerian Kesehatan mengungkap penyebab terjadinya peningkatan kasus demam berdarah sejak awal tahun. Berdasarkan data Kemenkes, sejak Januari 2024 terjadi kasus kematian sebanyak 475. 

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan kenaikan kasus tidak ada kaitan dengan nyamuk Wolbachea seperti yang banyak ditakutkan. Ia mengatakan kenaikan kasus kematian akibat DBD disebabkan oleh tiga hal, salah satunya adalah El Nino.

“(Penyebabnya) bukan Wolbachia. Kalau kita lihat di Yogyakarta, sampai sekarang peningkatan kasusnya masih lebih rendah dibandingkan tahun lalu,” kata Nadia pada Katadata, Selasa (16/4).

Yogyakarta sebelumnya telah menjadi salah satu wilayah tempat nyamuk Wolbachia disebarkan. Nyamuk dengan bakteri Wolbachia ini dipercaya 77% efektif melawan nyamuk Aedes aegypti penyebab DBD.

Menurut Nadia, tiga hal yang memicu peningkatan kasus DBD di Tanah Air adalah pertama, penurunan aktivitas pemberantasan sarang nyamuk di masyarakat dan keluarga. Kedua, fenomena El Nino yakni pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal.

Faktor ketiga adalah perubahan iklim yang menggeser musim penghujan dan kemarau. Nadia menjelaskan El Nino dan pergeseran musim ini berdampak pada daur hidup nyamuk Aedes aegypti.

Proses perkembangan dari telur menjadi larva hingga menjadi nyamuk dewasa kian pendek. “Ditambah dengan musim hujan dan panas yang menambah sarang nyamuk. Karena air bisa ditampung di berbagai tempat,” kata Nadia.

Kementerian Kesehatan sendiri sudah mencatat total 475 kematian karena DBD di 28 provinsi, hingga minggu ke-15 tahun ini. Angka ini melonjak 180% dari kasus di minggu ke-15 tahun lalu, yakni 175 kematian.

Adapun Kemenkes mencatat sudah lima daerah yang menerima jentik nyamuk dengan bakteri Wolbachia sejak awal 2023. Lima daerah tersebut adalah Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang, dan Kupang. Penyebaran jentik nyamuk berbakteri Wolbachia dilakukan di 47.251 titik di Kota Semarang, 20.513 titik di Kota Bandung, 18.761 titik di Kota Jakarta Barat, 9.751 titik di Kota Kupang, dan 4.917 titik di Kota Bontang.

 Penelitian Wolbachia untuk penanganan DBD di Indonesia sudah berjalan sejak 2011 di Yogyakarta. Bakteri ini bisa melumpuhkan virus dengue, penyebab DBD yang hidup di nyamuk Aedes aegypti. Di Yogyakarta, Wolbachia bisa mereduksi angka kasus DBD hingga 77%, bahkan menurunkan kebutuhan rawat di rumah sakit hingga 86%.

Peneliti Universitas Gadjah Mada, Ari Utarini, menjelaskan Wolbachia bukanlah rekayasa genetik dan bisa ditemukan pada kurang lebih 50% serangga di alam. Bakteri Wolbachia akan dimasukkan ke nyamuk Aedes aegypti betina, sehingga bila betina itu kawin, telurnya sudah berbakteri Wolbachia. 

Selanjutnya telur nyamuk ini kemudian diletakkan di tempat tinggal masyarakat, kemudian menetas dan menjadi nyamuk dewasa. Siklus ini akan terjadi terus menerus sehingga menekan jumlah penyakit DBD. 

Meski demikian, Wolbachia gunakan sebagai pelengkap penanganan DBD, bukan menggantikan program yang sudah ada seperti vaksin dan fogging. Lebih lanjut, epidemiolog UGM Riris Andono Ahmad menemukan ada potensi Wolbachia mengeliminasi DBD. Oleh sebab itu pihaknya akan memberhentikan intervensi dan memantau perkembangan Wolbachia di sana.

 “Memang akan tetap ada kasus dengue karena infeksi orang yang datang dari luar daerah. Tapi melihat bagusnya efek di Yogyakarta, ini memberi harapan mencapai eliminasi dengue,” kata Andono. 

Reporter: Amelia Yesidora