Menjelang babak akhir sengketa hasil Pilpres 2024, yang rencananya akan dibacakan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi pada Senin (22/4), sejumlah tokoh mengajukan diri menjadi amicus curiae atau "sahabat pengadilan".
Terbaru, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengajukan diri pada Selasa (17/4). Sebelumnya, sebanyak 303 orang dari kalangan akademisi maupun masyarakat sipil, mengajukan menjadi amicus curiae dalam sengketa hasil Pilpres 2024.
Kelompok seniman pun turut mengajukan diri sebagai amicus curiae ke MK. Perwakilan kelompok seniman, Ayu Utami, mengungkapkan bahwa para seniman ingin memelihara kebebasan, baik berekspresi hingga berpikir, yang bergantung pada sistem pemilihan presiden dan wakil presiden yang benar.
Apa sebenarnya amicus curiae itu, dan apa dasar hukum keberadaan sahabat pengadilan ini, serta fungsinya? Simak penjelasan selengkapnya dalam ulasan berikut ini.
Definisi dan Asal Usul Amicus Curiae
Amicus curiae, adalah bahasa Latin yang secara harfiah diterjemahkan sebagai "sahabat pengadilan". Singkatnya, ini merupakan praktik di mana pihak ketiga yang tidak terlibat dalam perkara, memberikan pandangan hukumnya kepada pengadilan.
Amicus curiae berperan sebagai pihak yang memiliki kepentingan terhadap perkara tersebut dan memberikan opini hukumnya kepada pengadilan. Dalam konteks ini, keterlibatannya terbatas pada memberikan pendapat. Ini berbeda dengan intervensi pihak yang melibatkan aksi hukum aktif, seperti derden verzet. Pendapat yang diberikan oleh sahabat pengadilan ini, dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Melansir Hukum Online, awalnya, konsep amicus curiae berasal dari tradisi Hukum Romawi yang kemudian diadopsi sistem hukum common law. Dalam perkembangannya, penggunaan "sahabat pengadilan" juga ditemui di negara-negara dengan sistem hukum civil law, termasuk Indonesia.
Dasar hukum terkait konsep amicus curiae di Indonesia, merujuk pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Beleid tersebut menegaskan kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat.
Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 memberikan kewajiban kepada hakim untuk memperluas sumber informasi terkait perkara yang sedang dihadapi dan akan diputuskan. Melalui akses yang lebih luas terhadap informasi, diharapkan hakim dapat menjalankan tugasnya dengan lebih terbuka, adil, dan bijaksana.
Amicus curiae berperan sebagai salah satu mekanisme bagi hakim dalam mendapatkan informasi tambahan terkait klarifikasi fakta atau prinsip-prinsip hukum. Keberadaanny menjadi penting dalam kasus-kasus yang melibatkan berbagai peraturan perundang-undangan yang kontroversial dan memerlukan reformasi.
Pihak yang Mengajukan Amicus Curiae
Amicus curiae dapat diajukan oleh individu atau organisasi yang memiliki kepentingan terhadap suatu perkara. Terdapat tiga jenis kepentingan yang dapat dimiliki oleh pihak "sahabat pengadilan" dalam sebuah perkara yang sedang ditinjau dan dipertimbangkan oleh hakim. Pertama, kepentingan yang berkaitan dengan dirinya sendiri atau kelompok yang diwakilinya.
Dalam hal ini, putusan yang akan diambil oleh pengadilan dapat memengaruhi kepentingan individu atau kelompok yang diwakilinya, terlepas dari kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam perkara. Amicus curiae berupaya untuk memastikan bahwa keputusan pengadilan didasarkan pada pertimbangan yang lebih luas daripada hanya argumen yang diajukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perkara.
Kedua, kepentingan yang berkaitan dengan salah satu pihak yang terlibat dalam perkara. Amicus curiae membantu memperkuat argumen pihak tersebut agar pengadilan lebih yakin dalam memutuskan untuk mendukung pihak tersebut atau mengabulkan permohonannya.
Ketiga, kepentingan yang bersifat umum, dimana dalam hal ini amicus curiae mampu memberikan pendapat atas nama kepentingan masyarakat luas, yang akan terdampak oleh putusan yang akan diambil.
Secara umum, terdapat tiga kategori bagi pihak yang berkepentingan dalam mengajukan amicus curiae, antara lain:
- Mengajukan izin atau permohonan untuk menjadi pihak yang berkepentingan dalam persidangan.
- Memberikan pendapat atas permintaan hakim.
- Memberikan informasi atau pendapat mengenai perkara.
Dasar Hukum Amicus Curiae dan Fungsinya
Pasal 180 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan dasar hukum untuk penerimaan amicus curiae dalam pengadilan pidana. Pasal tersebut mengizinkan hakim ketua sidang untuk meminta keterangan ahli atau meminta agar diajukan bahan baru oleh pihak yang berkepentingan.
Hal ini secara tidak langsung merujuk pada konsep amicus curiae. Meski demikian, hukum pidana sendiri tidak mengatur secara khusus tentang "sahabat pengadilan.
Dalam pembuktian hukum pidana, amicus curiae dapat ditempatkan sebagai bahan pertimbangan hakim. Sebab, proses pembuktian pidana bertujuan mencari kebenaran terkait tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
Meski amicus curiae memiliki sifat yang mirip dengan keterangan saksi dan ahli, keberadaannya tidak dapat dikategorikan sebagai dua jenis alat bukti tersebut. Melainkan, dapat dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam membuat keputusan, sesuai dengan prinsip pembuktian negatif yang dianut oleh Indonesia.
Dalam konteks ini, kekuatan bukti amicus curiae terletak pada keyakinan hakim, serta relevansinya terhadap perkara yang sedang ditinjau.
Contoh Kasus Pidana di Indonesia yang Memuat Amicus Curiae
Terdapat dua contoh kasus pidana yang memuat amicus curiae di Indonesia, yakni sebagai berikut:
1. Amicus Curiae dalam Kasus Yusniar
Pada kasus yang menjerat Yusniar, seorang ibu rumah tanggal asal Makassar, yang dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait pencemaran nama baik, peran amicus curiae yang disandang oleh Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR sangat signifikan.
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar, ICJR memberikan pendapat sebagai amicus curiae yang terdiri dari dua poin penting. Pertama, Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya dapat dilaporkan oleh korban langsung, sesuai dengan putusan Mahkamah Agung No 183 K/Pid/2010.
Kedua, untuk bisa melaporkan pencemaran nama baik, harus ada penyebutan nama dan tuduhan tertentu, sejalan dengan Putusan Nomor: 292/Pid.B/ 2014/PN. Rbi. Namun, dalam kasus Yusniar, kedua hal tersebut tidak terpenuhi.
Pendapat ICJR sebagai amicus curiae dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam putusan Nomor 1933/Pid.Sus/2016/PN. Mks, yang memutuskan Yusniar bebas dari dakwaan.
2. Amicus Curiae untuk Bharada E
Gabungan antara ICJR, PIL-NET, dan ELSAM mengajukan amicus curiae untuk melindungi Bharada Eliezer Pudihang Lumiuw atau lebih dikenal sebagai Bharada E, terdakwa dalam kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat.
Amicus curiae tersebut, menyatakan bahwa Bharada E memenuhi syarat sebagai justice collaborator berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2011, dan Peraturan Bersama 5 Lembaga Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi justtice collaborator.
Partisipasi Bharada E sebagai justtice collaborator harus dipertimbangkan hakim untuk meredakan hukumannya. Hakim kemudian menerima pendapat dari amicus curiae tersebut dalam Putusan Nomor 798/PID.B/2022/PN Jkt.Sel. Sehingga, hukuman Bharada E diringankan dari 12 tahun menjadi 1,5 tahun.
Penggunaan amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia diterima, meski regulasi formalnya masih umum dan berdasarkan Pasal 5 (1) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pengaturan mengenai amicus curiae dalam hukum pidana masih terbatas, dengan keberadaannya saat ini sebagai sumber informasi yang membantu keyakinan hakim dalam pembuktian berdasarkan Pasal 183 KUHAP.