7 Poin Dissenting Opinion MK Soal Pilpres 2024, Dipuji Cetak Sejarah

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) dan Arief Hidayat (kanan) memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Penulis: Ira Guslina Sufa
23/4/2024, 10.31 WIB

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan putusan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 pada Senin (22/4). Sidang yang berlangsung lebih dari enam jam itu membawa babak baru dalam penyelenggaraan pilpres 2024. 

Putusan yang terdiri dari 1.108 halaman itu memberi lampu hijau kepada pasangan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka untuk menjabat sebagai presiden dan wakil presiden terpilih untuk periode 2024-2029. Dalam putusan itu MK menolak seluruh gugatan yang diajukan calon nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dan nomor urut 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD. 

PHPU pilpres diputuskan oleh MK berdasarkan dua gugatan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 1/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk Anies-Muhaimin, dan Nomor Perkara 2/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk Ganjar-Mahfud. Dalam gugatan, kedua pasangan tersebut meminta MK untuk membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2024, yang menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.

Selama sidang, kedua pasangan calon yang mengajukan permohonan hadir untuk mendengarkan secara langsung, sementara Prabowo dan Gibran tidak hadir. Sidang dihadiri oleh delapan hakim MK dan dipimpin oleh hakim Suhartoyo. 

Putusan MK mendapat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari tiga hakim, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Ketiga hakim sepakat menyatakan perlu ada pemilihan suara ulang di beberapa daerah sesuai dengan temuan dalam sidang. 

“Demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah,” kata Saldi Isra membacakan dissenting opinion

Dissenting Opinion yang dinyatakan oleh tiga hakim tersebut mendapat sambutan dari publik. Calon wakil presiden pendamping Ganjar, Mahfud MD yang juga merupakan mantan ketua MK menyebut pendapat berbeda itu sebagai sejarah selama proses PHPU Pilpres di MK. Sedangkan kuasa hukum Anies - Muhaimin yang juga mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menyebut pendapat itu sebagai hal luar biasa. 

“Hari ini ada tiga Hakim Konstitusi yang membuat dissenting opinion, maka Hakim Konstitusi ini sedang menulis sejarah peradaban demokrasi di Indonesia,” kata Bambang usai sidang pengucapan putusan PHPU Pilpres. 

Bambang menilai dissenting opinion yang disampaikan mendukung beberapa dalil dalam permohonan yang mereka ajukan. Salah satunya dari Hakim Saldi Isra yang menyatakan perlu adanya pemungutan suara ulang di beberapa daerah yang dianggap telah terjadi ketidaknetralan aparat dan politisasi bansos.

Apa saja poin yang disampaikan oleh tiga hakim MK dalam dissenting opinion? 

Politisasi Bansos

Saldi berpendapat, dalil Pemohon beralasan menurut hukum sepanjang mengenai politisasi bantuan sosial (bansos) dan mobilisasi aparat, aparatur negara, atau penyelenggara negara. Hal itu kata dia, didapati setelah mencermati keterangan para pihak, fakta yang terungkap di persidangan, dan alat bukti.

Ia menyebut terdapat kemungkinan adanya kamuflase yang dilakukan oleh Presiden antara kepentingan negara dengan kepentingan pribadi. Namun menurut dia tidak ada aturan yang baku untuk memberikan penilaian. Meski begitu Saldi mengatakan sebagai hakim ia tidak bisa menutup mata tentang adanya pembagian bansos yang intens digelar menjelang pemilu.

Selain itu juga adanya keterlibatan menteri aktif dalam proses kampanye. Ia menyorot tidak dilibatkannya Menteri Sosial Tri Rismaharini dalam pembagian bansos. Padahal menurut dia dalam pemberian bansos seharusnya menteri tidak memberikan pesan khusus. 

 “Terdapat kampanye terselubung dalam kegiatan pembagian bansos,” ujar Saldi. 

 

Empat menteri bersaksi di sidang sengketa Pilpres (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.)


Netralitas ASN dan Kepala Daerah

Dalam dissenting opinion yang dibacakan Saldi menyorot perlu adanya pemilihan ulang berkaitan dengan adanya keterlibatan ASN dan penyelenggara negara. Meski mengakui bahwa dugaan keterlibatan ASN sudah diproses oleh Bawaslu namun dia melihat upaya itu belum maksimal. 

“Bawaslu tidak memberitahukan kekuranglengkapan persyaratan dimaksud. Hal demikian sebenarnya dapat dipandang sebagai cara Bawaslu menghindar untuk memeriksa substansi laporan yang berkenaan dengan pelanggaran pemilu,” ujar Saldi. 

Ia berkeyakinan bahwa telah terjadi ketidaknetralan sebagian Pj. kepala daerah termasuk perangkat daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung secara jujur dan adil. Menurut Saldi semua itu bermuara pada tidak terselenggaranya pemilu yang berintegritas. 

“Dengan demikian, dalil Pemohon a quo beralasan menurut hukum,” ujar Saldi  

Pengerahan Kepala Desa

Hal lain yang disoroti Saldi berkaitan dengan netralitas penjabat (Pj.) kepala daerah dan pengerahan kepala desa. Ia menilai adanya pengerahan kepala desa  di enam daerah, yaitu Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Karenanya, wakil ketua MK itu merasa perlu dilakukan PSU pada daerah dimaksud.

Sidang pengujian materiil UU tentang pemilihan umum (ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom.)

 

Netralitas Kepala Daerah

Selanjutnya, Enny Nurbaningsih berpendapat dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Ia menilai telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos di beberapa daerah.

Enny setidaknya menyebut empat daerah yang memiliki indikasi kuat ketidaknetralan Pj. kepala daerah, termasuk di dalamnya perihal ketidaknetralan pejabat dan aparat negara yang belum ditindaklanjuti dengan optimal oleh Bawaslu dan pihak berwenang, yaitu Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.

“Maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut,” ujar Enny.

Pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Masif

Berikutnya, Arief Hidayat berpendapat seharusnya Mahkamah memerintahkan KPU RI untuk melaksanakan PSU di daerah pemilihan DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara. Menurut Arief, terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). 

Selain itu ia juga menyorot adanya politisasi penyaluran perlindungan sosial (perlinsos) dan bansos. Arief pun juga sependapat dengan Saldi dan Enny mengenai adanya pengarahan aparat pemerintahan dalam penyelenggaraan Pilpres 2024.

“Sehingga hal ini telah mencederai konstitusionalitas dan prinsip keadilan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” demikian bunyi salah satu bagian dissenting opinion dari Arief. 

Profesionalitas Bawaslu 

Lebih lanjut, Arief berpendapat Mahkamah seharusnya memerintahkan Bawaslu RI mengawasi pemungutan suara ulang. Ia juga meminta MK memerintahkan Polri dan TNI menjaga keamanan dan keterlibatan dalam proses pemungutan suara ulang secara profesional dan netral.

Imparsialitas Presiden 

Dia menambahkan, MK seharusnya memutus untuk memerintahkan Presiden RI bersikap imparsial dan netral dalam proses pemungutan suara ulang; serta melarang adanya pembagian bansos sebelum dan pada saat pemungutan suara ulang.

Persoalan adanya dukungan dari presiden dalam pilpres memang juga dibahas dalam pertimbangan hakim secara umum. MK menilai endorsement atau dukungan yang dilakukan oleh Presiden maupun wakil presiden dalam kontestasi Pemilihan Presiden tak melanggar hukum. Meski begitu tindakan itu dinilai berpotensi timbulkan masalah etika.

Hal itu diungkapkan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Ridwan Mansyur saat sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024, pada Senin (22/4). Ridwan mengatakan, dari sisi hukum positif mengenai Pemilu, saat ini pola 'komunikasi pemasaran' juru kampanye yang melekatkan citra dirinya kepada kandidat atau paslon tertentu, bukanlah tindakan yang melanggar hukum.

"Namun, endorsement atau pelekatan citra diri demikian, sebagai bagian dari teknik komunikasi persuasif, potensial menjadi masalah etika manakala dilakukan oleh seorang presiden yang notabene dirinya mewakili entitas negara," kata Ridwan.

Ridwan mengatakan, MK menilai sebagai presiden Joko Widodo seharusnya berpikir, bersikap, dan bertindak netral dalam ajang kontestasi memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Hal itu lantaran pilpres dilakukan untuk mencari sosok yang akan menggantikan dirinya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

"Menurut mahkamah, mutlak diperlukan kerelaan presiden petahana untuk menahan atau membatasi diri dari penampilan di muka umum yang dapat diasosiasikan atau dipersepsikan oleh masyarakat sebagai dukungan bagi salah satu kandidat atau paslon dalam pemilu," kata Ridwan.

Ia mengatakan, kesediaan Presiden serta para petahana kepala daerah merupakan faktor utama bagi terjaganya serta meningkatnya kualitas demokrasi Indonesia. Namun demikian, kata Ridwan, kerelaan adalah wilayah moralitas, etis, ataupun fatsun, sehingga posisi yang berlawanan dengannya, yaitu ketidakrelaan. 

Ridwan menyebut MK tidak dapat membawa persoalan etik dengan sanksi hukum kecuali apabila wilayah kerelaan demikian telah terlebih dahulu dikonstruksikan sebagai norma hukum larangan oleh pembentuk undang-undang.

Reporter: Ade Rosman, Amelia Yesidora