Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) meramalkan ekonomi global akan bertumbuh tipis hingga tahun depan. Dalam Economic Outlook edisi Mei 2024, OECD mengisyaratkan optimismenya terhadap perekonomian global yang dipicu oleh berkembangnya ekonomi global secara cepat dalam beberapa bulan terakhir.
Dalam proyeksinya, OECD tetap mempertahankan proyeksi pertumbuhan global di level 3,1% dan terus meningkat hingga 3,2% menuju 2025. Proyeksi ini merupakan hasil revisi dari sebelumnya yang berada di level 2,9% pada 2024 dan 3% pada 2025.
Sekjen OECD Mathias Cormann mengatakan meskipun suku bunga tinggi menghantui beberapa negara dan diiringi dengan pengetatan pasar tenaga kerja, setidaknya inflasi telah menurun sesuai dengan target bank sentral. Bahkan, kata dia, lebih cepat daripada yang diperkirakan.
Cormann menyebutkan negara-negara perlu memastikan stabilitas makroekonomi dan meningkatkan prospek pertumbuhan jangka menengah. "Kebijakan moneter harus diambil dengan sangat hati-hati, dan perlu adanya reformasi kebijakan untuk meningkatkan inovasi, investasi dan peluang di pasar tenaga kerja khususnya bagi perempuan, generasi muda dan orang tua," kata dia dikutip dari situs web OECD, Sabtu (4/5/2024).
Namun, OECD mengingatkan untuk tidak terlampau larut dalam euforia mengingat masih ada bayang-bayang perekonomian memburuk. Kepala ekonom OECD Clare Lombardelli menyebutkan ada beberapa kondisi yang dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi, yaitu inflasi turun lebih lambat daripada yang diantisipasi sehingga akan menggerus pendapatan dan tekanan biaya di sektor jasa.
Lombardelli mengatakan harga jasa sangat berperan besar dalam menentukan laju inflasi umum. "Inflasi jasa terbukti sangat sulit berubah karena terkait erat dengan upah. Jika tekanan biaya di sektor jasa tidak berkurang, suku bunga mungkin akan tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama," kata dia.
Ramalan OECD untuk Indonesia, Bertumpu pada Konsumsi Rumah Tangga
OCED meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di level 5,1% pada 2024 dan terus bertumbuh mencapai level 5,2% pada 2025. Dalam outlook terbaru yang mencakup revisi pertumbuhan ekonomi global secara lebih optimistis, OECD memproyeksikan penguatan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan investasi.
Inflasi umum diperkirakan akan turun sedikit di bawah 3% pada tahun 2024 dan tetap tidak berubah pada tahun 2025. Angka ini masih dalam koridor target bank sentral, 1,5-3,5%. OECD memperkirakan, meningkatnya ketidakpastian global dan rendahnya harga komoditas, akan mengurangi nominal ekspor komoditas Indonesia. Namun, meskipun defisit transaksi berjalan meningkat, cadangan devisa diperkirakan akan stabil secara umum.
Menyusul kenaikan suku bunga kebijakan yang tidak terduga pada bulan April, yang dipicu oleh melemahnya mata uang, pelonggaran kebijakan moneter diperkirakan akan dimulai pada akhir tahun 2024, seiring dengan berlanjutnya disinflasi.
Keberlanjutan fiskal jangka panjang akan terbantu dengan perluasan basis pajak dan peningkatan kepatuhan pajak serta upaya untuk memastikan belanja pemerintah yang efisien, termasuk melalui dukungan yang terfokus pada rumah tangga rentan. OECD mengingatkan, transisi menuju net-zero dan meningkatkan ketahanan energi harus tetap menjadi tujuan prioritas Indonesia.
Menurut OECD, membaiknya kepercayaan bisnis dan konsumen serta belanja pemerintah yang lebih tinggi akan mendukung pertumbuhan permintaan dan output dalam negeri pada tahun 2024 dan 2025, serta penurunan suku bunga pada tahun 2025. Surplus perdagangan diperkirakan akan berubah menjadi defisit yang moderat pada tahun 2024 dan 2025, sebagian disebabkan oleh penurunan ekspor harga.
Selain itu, permintaan domestik yang kuat dan ketahanan pasar tenaga kerja diperkirakan akan memberikan tekanan pada inflasi inti dan inflasi umum. Meski begitu, inflasi umum diperkirakan akan sedikit di bawah 3% pada tahun 2024 dan 2025.
OECD memproyeksikan Indonesia masih akan sangat bergantung kepada Cina dalam hal ekspor komoditas. Persoalannya, pertumbuhan ekonomi Negara Tirai Bambu yang lebih lemah akan berdampak pada ekspor. Sedangkan pelemahan ekonomi yang dialami Eropa dan kondisi geopolitik di Laut Merah dianggap tak berpengaruh signifikan terhadap Indonesia, dibandingkan negara-negara Asia lainnya.