UKT Naik Signifikan, Pengamat dan Legislator Soroti Status PTNBH

ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/wsj.
Ilustrasi, sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) berunjuk rasa di depan kampus UNY, Sleman, D.I Yogyakarta, Jumat (3/7/2020).
Penulis: Agung Jatmiko
14/5/2024, 14.31 WIB

Protes keras dari mahasiswa terkait besaran uang kuliah tunggal atau UKT terjadi di beberapa perguruan tinggi negeri selama beberapa pekan terakhir. Di Purwokerto, ratusan mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman atau Unsoed melayangkan protes atas kebijakan kenaikan UKT sampai lima kali lipat.

Memprotes kebijakan kenaikan UKT yang terlampau tinggi, mahasiswa menggelar unjuk rasa pada Selasa (30/4). Aksi ini berujung ricuh dan menyebabkan kerusakan di gedung rektorat. Pihak rektorat kemudian mencabut kebijakan kenaikan uang kuliah tersebut, setelah menggelar rapat pimpinan.

Protes terkait tingginya UKT, sebelumnya juga dilakukan oleh mahasiswa Universitas Riau (Unri), bernama Khariq Anhar awal Maret lalu. Ia menggelar aksi teatrikal, dengan meletakkan jas almamater di depan kampus seolah berjualan pada Senin (4/3). Ia juga mengunggah kampanye isu berupa video satir lewat almamater yang dijual. Atas aksi tersebut, ia dilaporkan oleh rektor Unri Sri Indarti atas dugaan pelanggaran UU ITE.

Selain di Unsoed dan Unri, aksi protes terhadap kenaikan UKT juga terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Ratusan mahasiswa USU menggelar unjuk rasa memprotes kenaikan UKT 2024 yang lebih dari 100%.

Unjuk rasa polemik UKT di Kemendikbudristek (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU)

Status PTNBH Ditunding Jadi Penyebab UKT Tinggi

Protes mahasiswa terkait tingginya UKT bukan hanya terjadi di Unsoed, Unri serta USU, dan bukan kejadian yang baru tahun ini terjadi. Tahun lalu, ratusan calon mahasiswa baru Universitas Indonesia (UI) memprotes besaran UKT, yang dinilai memberatkan.

Biaya kuliah memang menjadi salah satu pertimbangan bagi calon mahasiswa dalam menentukan perguruan tinggi yang akan dipilih. Pada perguruan tinggi negeri, biaya kuliah tersebut, diistilahkan dengan UKT yang dibayarkan setiap semester.

Mengutip Kompas.com, pengamat pendidikan Ubaid Matraji mengatakan, tingginya UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri merupakan imbas kebijakan pemerintah terkait Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum atau PTNBH.

Ini adalah status badan hukum perguruan tinggi negeri yang memiliki hak otonom untuk mandiri, termasuk di dalamnya, adalah pengelolaan anggaran. Melalui status PTNBH, perguruan tinggi memiliki kewenangan mutlak di bidang akademik dan non akademik, tanpa intervensi.

Menurutnya, status PTNBH ini justru membuat universitas negeri menjadi lahan bisnis, dengan menaikkan uang pangkal maupun UKT. Oleh karena itu, Ubaid mengusulkan agar kebijakan ini dievaluasi. Pasalnya, ia mengkhawatirkan kebijakan ini akan membuat akses masyarakat ke jenjang pendidikan tinggi semakin menurun.

"Tugas pemerintah sesuai amanat UUD 1945, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan justru berbisnis dengan mahasiswa melalui tarif UKT yang sangat mahal," kata Ubaid.

Status PTNBH juga mendapat sorotan dari Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Anggota Komisi X Ledia Hanifa Amaliah menyayangkan sikap pemerintah yang memutuskan untuk melakukan kapitalisasi perguruan tinggi. Menurutnya, negara seharusnya hadir memberikan kemudahan akses pendidikan, bukan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pasar.

"Perguruan tinggi negeri seharusnya bergerak di sektor akademis, bukan bisnis, tapi sekarang mereka harus berpikir bagaimana menghidupi bidang usahanya supaya (perguruan tinggi) hidup. Kalau tidak berhasil, semua operasional dibebankan kepada mahasiswa,” kata Ledia, dikutip dari Parlementaria.

Menurutnya, seharusnya, pemerintah melakukan antisipasi ketika ingin membuat kampus mandiri. Ledia mengarakan, dengan kejadian protes tingginya UKT ynag terjadi saat ini, bisa dikatakan bahwa desain pendidikan sebenarnya belum matang.

Ia pun mengingatkan agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengawasi implementasi regulasi penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan di PTN. Menurutnya ini upaya yang penting, agar UKT yang dibebankan tidak memberatkan mahasiswa.

Tidak hanya itu, Ledia mengusulkan agar manajemen perguruan tinggi memberdayakan badan usaha yang dimiliki agar beban operasional tidak sepenuhnya ditanggung oleh mahasiswa.

“Jangan semua dibebankan kepada mahasiswa. (Jika dibiarkan) bisa terjadi mahasiswa memutuskan menggunakan pinjaman online untuk pembiayaan pendidikan supaya bisa kuliah. Perguruan tinggi negeri itu juga mesti lebih kreatif mencari funding, sehingga dana operasional tidak harus membebani mahasiswa,” ujarnya.

Unjuk rasa polemik UKT di Kemendikbudristek (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU)

Komnas HAM Bakal Lakukan Audit

Masalah tingginya besaran UKT ini juga mendapat perhatian dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM, yang akan melakukan audit terhadap sejumlah lembaga pendidikan.

Mengutip Tempo, Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan, pihaknya berencana berencana mengevaluasi peran kampus dalam hal menjamin hak atas pendidikan yang dapat diakses masyarakat luas.

Beberapa hal yang menjadi pokok perhatian Komnas HAM, antara lain kebijakan yang memberikan akses pendidikan, ketersediaan, dan kualitas pendidikan. Termasuk di dalamnya, terkait dengan komersialisasi pendidikan tinggi.

Ia menjelaskan, lembaga pendidikan, dalam hal ini perguruan tinggi, memang harus memastikan kualitas pendidikan. Namun, untuk pembiayaannya, khususnya terkait dengan biaya yang dibebankan kepada mahasiswa, seharusnya dilakukan melalui kebijakan partisipatif.

"Ini agar pihak kampus dapat mengetahui kemampuan masyarakat mengakses pendidikan tinggi. Jadi, penentuan UKT ini tidak dibuat secara satu pihak," kata Anis.