Khozy Rizal tak punya inspirasi muluk saat membuat film Basri and Salma in a Neverending Comedy (2023). Odong-odong, hanya itu bayangan awal di kepalanya. Dalam ulasan di Bioskop Online, Khozy mengungkapkan bahwa keberadaan odong-odong memberikan cahaya bagi kota yang kelam, tempat di mana orang-orang harus memenuhi ekspektasi masyarakat yang berakar pada nilai-nilai patriarki serta warisan nilai generasi-generasi sebelumnya.
Sineas film Makassar ini sebenarnya berangkat dari hal yang sederhana dan dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia dalam membuat karyanya. Kisah utama dari film besutannya bercerita tentang sepasang suami istri bernama Basri dan Salma yang menjalani usaha odong-odong, menerima banyak tekanan dari keluarganya karena tak kunjung punya anak. Film ini mengemas masalah sosial secara apik dengan balutan unsur komedi-satir.
Siapa sangka, kisah yang terinspirasi dari mainan anak-anak ternyata mengantarkan Basri and Salma in a Neverending Comedy mejeng di perhelatan bergengsi internasional. Sebut saja Festival Film Cannes 2023, SXSW Sydney 2023, Busan International Film Festival 2023, Sundance Film Festival 2024, hingga Clermont-Ferrand International Short Film Festival 2024. Karya Khozy bahkan jadi film pendek Indonesia pertama yang mampu menembus Festival Film Cannes.
Tak hanya produk sinematik Khozy, film Tiger Stripes juga berhasil tampil dan memenangi Critics Week di Festival Film Cannes 2023. Karya ini hasil co-produksi delapan negara yang dikomandoi sutradara Amanda Nell Eu dari Malaysia, produser KawanKawan Media, serta Yulia Evina Bharadari dari Indonesia. Film ini mendapat apresiasi tinggi karena dianggap mampu menggambarkan kekejaman dan kompleksitas persahabatan remaja perempuan, sebagaimana diulas Screen Daily, majalah asal Inggris.
Prestasi yang diperoleh Khozy dan Yulia tidak dapat dilepaskan dari dukungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan. Dukungan itu berupa Dana Abadi Kebudayaan atau dikenal sebagai Dana Indonesiana yang memungkinkan sineas Indonesia untuk berkarya serta unjuk gigi di festival dan ajang penghargaan film ternama.
Mendikbudristek Nadiem Makarim menjelaskan, salah satu pos dukungan Dana Indonesiana di sektor film bisa mencapai US$10 juta atau sekitar Rp160,39 miliar (asumsi kurs Rp16.039 per US$) per tahun melalui program matching fund, yaitu produksi film dalam negeri yang berkolaborasi dengan negara lain. Dana ini bisa terus bertambah menyesuaikan pendanaan dari negara yang turut berkolaborasi, seperti diwartakan Harian Kompas.
(Baca juga: Merawat Ekosistem Kebudayaan untuk Ekonomi Nasional)
Dukungan Dana Indonesiana tidak terbatas untuk bidang perfilman dan seniman yang maju ke kancah internasional. Individu seniman dan pelaku budaya serta komunitas dengan berbagai latar pada level nasional hingga daerah pun bisa mendapatkannya.
Scholastica Wahyu Pribadi, pendiri Loka Art Studio, juga mendapat dukungan dari Dana Indonesiana untuk kategori kelembagaan. Dengan dana tersebut, ia dapat memberikan pendampingan serta mencari bakat seniman-seniman muda, khususnya di daerah Gunungkidul, Yogyakarta.
Wahyu mengaku pendanaan tersebut sangat membantu sebab selama ini banyak seniman pertunjukan yang belum memiliki cukup modal untuk menggelar pertunjukan. Di sisi lain, mereka juga kesulitan untuk mendapatkan investor.
“Bagi kami dana itu [Dana Indonesiana] sangat mendukung sekali. Khususnya seni pertunjukan,” kata Scholastica, dilansir dari Detik.com, Sabtu (9/3/2024).
Dana Indonesiana berinduk kepada Dana Abadi yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di bawah naungan Kementerian Keuangan. Pendanaan bidang kebudayaan tertuang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Lalu konsepnya diwujudkan melalui Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2024 tentang Dana Abadi di Bidang Pendidikan.
Dana Indonesiana mendistribusikan hibah pemerintah di bidang kebudayaan secara terintegrasi. Adapun sumber pendanaannya berasal dari APBN, pendapatan investasi, dan/atau sumber lain yang sah. Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, menjelaskan tujuan utama dari program ini adalah untuk menempatkan pelaku budaya sebagai motor penggerak pemajuan kebudayaan.
“Seiring dengan perjalanan waktu, Dana Indonesiana memberikan kontribusi dalam membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan dan pemajuan kebudayaan di Indonesia,” kata Hilmar dalam keterangannya, dilansir dari Kompas.com, Minggu (11/3/2024).
Layanan Dana Indonesiana meliputi dukungan Fasilitasi Bidang Kebudayaan, Pemanfaatan Dana Abadi Kebudayaan, sampai Beasiswa Pelaku Kebudayaan. Sementara penerimanya terdiri atas perorangan, kelompok/komunitas budaya, dan lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan.
Pada 2022, terdapat 311 penerima manfaat Dana Indonesia yang diseleksi dari 3.579 pengajuan proposal. Lalu pada 2023, jumlahnya mencapai 263 penerima manfaat yang disaring dari 3.051 pengajuan proposal.
Menurut sebaran provinsi, penerima manfaat paling banyak berasal dari DKI Jakarta, yakni mencapai 22 penerima. Kemudian disusul Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur yang sama-sama mencatatkan 21 penerima manfaat.
(Baca juga: Transformasi Museum dan Cagar Budaya Tak Sekadar Menjaga Artefak)
Kategori | Perseorangan | Kelompok/Komunitas | Lembaga |
Dukungan institusional bagi organisasi kebudayaan | Rp500 juta | Rp1 miliar | |
Kegiatan strategis | Rp2,5 miliar | ||
Pendayagunaan ruang publik | Rp250 juta | Rp500 juta | Rp500 juta |
Dokumentasi karya/pengetahuan maestroatau OPK rawan punah | Rp250 juta | Rp500 juta | Rp500 juta |
Penciptaan karya kreatif inovatif | Rp250 juta | Rp750 juta | Rp750 juta |
Sinema mikro | Rp250 juta | Rp250 juta | |
Kajian OPK dan cagar budaya | Rp250 juta | Rp250 juta | Rp250 juta |
Alokasi pendanaan Dana Indonesiana disesuaikan dengan kategori dan penerimanya. Misalnya kategori dukungan institusional bagi organisasi kebudayaan memiliki pagu maksimal Rp500 juta untuk komunitas dan Rp1 miliar untuk lembaga.
Lalu untuk pendayagunaan ruang publik, maksimal Rp250 juta untuk perseorangan dan Rp500 juta untuk komunitas atau lembaga. Sementara sinema mikro, akan diberikan dana sebesar Rp250 juta, masing-masing untuk penerima kelompok atau lembaga. Batas maksimal pendanaan tersebut berdasarkan kesepakatan manajemen pelaksana program dengan calon penerima manfaat.
Secara umum, pemerintah mengalokasikan Dana Abadi sebesar Rp25 triliun pada 2024. Dari jumlah itu, paling besar disalurkan untuk pendidikan yang mencapai Rp15 triliun. Lalu untuk penelitian dan perguruan tinggi masing-masing diberikan Rp4 triliun. Sementara Dana Abadi Kebudayaan mendapat anggaran Rp2 triliun pada 2024.
Hilmar Farid berharap agar Dana Indonesiana tetap dapat mengakomodir berbagai inisiatif masyarakat di bidang kebudayaan sekaligus menjadi investasi jangka panjang.
“Kami berharap melalui pendanaan ini akan memperluas akses masyarakat pada sumber pendanaan untuk memperkuat keterlibatan publik dalam ekosistem pemajuan kebudayaan yang berkelanjutan,” kata Hilmar, dilansir dari laman Indonesia.go.id, Senin (17/7/2023).
(Baca juga: Bukan Profit, Investasi Budaya untuk Pembangunan Manusia)