Sepakat dengan JK, Peneliti Ragu Eks Dirut Pertamina Korupsi soal LNG

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/tom.
Wakil presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla bersiap menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi LNG atau gas alam cair dengan terdakwa Karen Galaila Agustiawan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Penulis: Lenny Septiani
18/5/2024, 18.55 WIB

Jusuf Kalla atau JK bingung mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan menjadi terdakwa korupsi terkait pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas alias LNG. Peneliti juga menilai, untung dan rugi dalam bisnis merupakan hal biasa.

Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan 12 JK berpendapat, eks Dirut Pertamina 2009 – 2014 Karen Agustiawan tidak bersalah dalam kasus dugaan korupsi pengadaan LNG pada 2011 - 2014. Sebab, Karen Agustiawan hanya menjalankan tugas sebagai dirut Pertamina saat itu.

"Saya bingung kenapa Karen menjadi terdakwa, karena dia menjalankan tugas," ujar JK dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor Jakarta, Kamis (16/5).

Menurut dia, pengadaan LNG oleh Karen berdasarkan Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010, yang ditujukan kepada Pertamina.

Dalam aturan itu, JK menyebutkan terdapat instruksi untuk Pertamina agar mencapai sasaran kebijakan energi Nasional, antara lain mewujudkan energi primer mix yang optimal pada 2025, dengan peranan gas bumi menjadi lebih 30% terhadap konsumsi energi Nasional.

Instruksi tersebut juga seiring dengan Peraturan Presiden alias Perpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. "Saya ikut membahas hal ini, karena kebetulan saya masih di pemerintahan saat itu," ujar dia.

Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan didakwa merugikan negara US$ 113,84 juta atau setara Rp 1,77 triliun. Mantan Dirut Pertamina ini didakwa memperkaya diri Rp 1,09 miliar dan US$ 104.016 atau setara Rp 1,62 miliar.

Karen Agustiawan juga diduga memperkaya perusahaan Amerika, Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) US$ 113,84 juta atau setara Rp 1,77 triliun.

Menanggapi hal itu, JK menilai bahwa dakwaan kerugian negara yang dilayangkan kepada Karen Agustiawan murni merupakan permasalahan bisnis. "Untung atau rugi itu biasa. Kalau semua harus untung, ya bukan bisnis namanya," ujar JK.

Menurut dia, apabila seorang pimpinan atau dirut membuat kebijakan, hal itu bukan termasuk perbuatan kriminal selama dilakukan dengan tidak menguntungkan diri sendiri.

JK berpendapat, hanya ada dua kemungkinan dalam mengambil keputusan terkait bisnis yakni untung atau rugi. Apabila semua perusahaan yang merugi harus dihukum, maka seluruh Badan Usaha Milik Negara atau BUMN karya harus dihukum, dan hal ini bisa menghancurkan sistem.

Menurut JK, kebijakan pengadaan LNG oleh Karen Agustiawan disusun oleh pemerintah dan bersifat jangka panjang. Oleh karena itu, Pemerintah harus menyeimbangkan antara kebutuhan dan pasokan LNG, sehingga membutuhkan tambahan pengadaan dari luar negeri, khususnya karena Indonesia juga mengekspor LNG.

“Kerugian hanya dua tahun kan? Kenapa harus dua tahun didakwakan? Harus jangka panjang ini,” ujar JK.

Head of Research Data Indonesia Herry Gunawan, yang pernah berkarier sebagai reporter di Tempo dan editor di Datanesia sependapat dengan JK bahwa Karen Agustiawan tak bersalah sepanjang tidak menguntungkan diri sendiri maupun orang lain.

Selain itu, harus dilihat proses dalam pengambilan keputusan. Dirut harus menggelar rapat bersama direksi sebelum mengambil keputusan. “Apalagi Pemerintah sebagai pemegang saham, saya yakin dibicarakan dalam rapat (semua keputusan bisnis),” kata Herry kepada Katadata.co.id, Sabtu (18/5).

Kemudian, komite pemantau risiko ikut melakukan kajian dan pengawasan.

“Kalau semua sudah sesuai tata kelola perusahaan, regulasi, atau standar etik, seharusnya Karen tidak bersalah. Apalagi, aksi korporasi merupakan penugasan dalam rangka mengantisipasi kekurangan pasokan energi,” Herry menambahkan.

“Kecuali, Karen menyalahgunakan wewenang misalnya, menentukan harga sendiri dan/atau memilih mitra tanpa prosedur yang diatur oleh Pertamina. Ini bisa jadi indikasi pelanggaran yang mengarah ke korupsi,” ujar Herry.

Jika pelanggaran tersebut dilakukan, maka ada potensi pendapatan negara yang hilang atau merugikan Negara karena pembelian yang lebih mahal. Oleh karena itu, menurut dia penting untuk melihat proses pengambilan keputusan pengadaan LNG selama 2011 – 2014.

“Dengan begitu, bisa diketahui apakah Karen melakukan pelanggaran proses atau kebijakan atau tidak? Kalau tidak, maka murni kegiatan korporasi. Jangan dipaksakan diseret ke kasus korupsi. Nanti semua BUMN rugi bisa diseret ke kasus korupsi,” kata dia.

Akan tetapi, Karen turut didakwa memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang LNG potensial di Amerika, tanpa adanya pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi, analisis secara teknis dan ekonomis, serta analisis risiko.

Ia juga disebut tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS sebelum penandatanganan perjanjian jual beli LNG CCL Train 1 dan Train 2. Karen memberikan kuasa kepada Yenni Andayani selaku Senior Vice President (SVP) Gas and Power Pertamina 2013-2014 dan Hari Karyuliarto selaku Direktur Gas Pertamina 2012 - 2014.

Keduanya diberi kuasa untuk menandatangani LNG SPA atau Sales and Purchase Agreement CCL Train 1 dan Train 2, meski belum seluruh direksi Pertamina menandatangani Risalah Rapat Direksi atau RRD untuk LNG SPA CCL Train 1 dan tanpa didukung persetujuan direksi untuk LNG SPA CCL Train 2.

Oleh karena itu, Karen didakwa melakukan perbuatan yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Reporter: Lenny Septiani, Antara