Serikat Pekerja Desak Jokowi Batalkan Iuran Tapera, Siapkan Aksi Besar

Katadata
Sejumlah pekerja berjalan menuju Stasiun Sudirman saat jam pulang kerja di Jakarta, Kamis (30/5/2024). Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 mewajibkan pekerja baik pegawai swasta, PNS, TNI hingga Polri untuk membayar iuran simpanan tabungan perumahan rakyat atau Tapera dengan besar iuran 2,5 persen dari gaji pekerja dan 0,5 persen dari pemberi kerja yang mulai diterapkan paling lambat pada 2027 mendatang.
Penulis: Syahrizal Sidik
2/6/2024, 17.09 WIB

Rencana pemerintah memberlakukan iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera mulai 2027 nanti memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Tak hanya pengusaha dan warganet yang menolak, serikat buruh menentang kebijakan ini dan berencana menyiapkan aksi unjuk rasa skala besar. 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, mendesak pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 24 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera).

Menurut Said Iqbal, setidaknya ada enam alasan mengapa Tapera harus dicabut. Pertama, ketidakpastian memiliki rumah. Menurutnya, potongan iuran sebesar 3% dari upah buruh, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi.

Kedua, pemerintah lepas tanggung jawab. Dalam PP Tapera, tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut mengiur dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya. Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera. 

"Pemerintah lepas dari tanggungjawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, di samping sandang dan pangan,” ujar Said Iqbal, yang juga Presiden Partai Buruh ini, dalam keterangan pers, Minggu (2/5). 

Ketiga, membebani biaya hidup buruh. Di tengah daya beli buruh yang turun 30% dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja, potongan iuran Tapera skan menambah beban dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. 

Potongan yang dikenakan kepada buruh hampir mendekati 12% dari upah yang diterima, antara lain Pajak Penghasilan 5%, iuran Jaminan Kesehatan 1%, iuran Jaminan Pensiun 1%, iuran Jaminan Hari Tua 2%, dan rencana iuran Tapera sebesar 2,5%. Belum lagi jika buruh memiliki utang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh.

Keempat, rawan dikorupsi. Dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar untuk disalahgunakan. Karena di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial atau bantuan sosial.

Jika jaminan sosial, maka dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah. Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah. 

“Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah,” kata dia

Kelima, tabungan yang memaksa. Karena pemerintah menyebut bahwa dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa. Dan karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan. 

Subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial. Misalnya program jaminan kesehatan yang bersifat asuransi sosial, maka diperbolehkan penggunaan dana subsidi silang antar peserta BPJS Kesehatan.

Keenam, ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera. Untuk PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK. Tetapi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi. 

Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera.

“Atas dasar enam alasan tersebut, Partai Buruh dan KSPI akan mempersiapkan aksi besar yang akan diikuti ribuan buruh pada hari Kamis tanggal 6 Juni di Istana Negara, Jakarta, dengan tuntutan untuk mencabut PP No. 2124 tentang Tapera dan merevisi UU Tapera,” kata Said Iqbal.