Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK akan memanggil pemanggilan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, sebagai saksi untuk menggali informasi mengenai keberadaan Harun Masiku.
Harun Masiku merupakan tersangka KPK yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Ia diduga menyuap Wahyu Setiawan, yang saat itu menjabat Komisioner KPU sebesar Rp 600 juta. Suap diberikan untuk pengurusan pergantian antar waktu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam perkara ini Wahyu telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara pada 2021 dan telah bebas bersyarat pada 6 Oktober 2023.
Kronologi Kasus Harun Masiku
Harun Masiku merupakan politisi PDIP yang sebelumnya merupakan kader Partai Demokrat. Ia maju dalam kontestasi pemilihan anggota legislatif atau Pileg 2019 lalu.
Saat itu, ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif PDIP dari Dapil I Sumatera Selatan. Berdasarkan hasil Pileg 2019, Harun menempati posisi keenam di dapil-nya, dengan perolehan suara sebanyak 5.878. Ia kalah telak dari Nazarudin Kiemas, adik almarhum suami Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Taufiq Kiemas, yang berhasil meraih 145.752 suara.
Posisi kedua ditempati oleh Riezky Aprilia yang mengantongi 44.402 suara. Diikuti Darmadi Jufri dengan raihan 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan (19.776 suara), dan Diah Okta Sari (13.310 suara).
Namun, sebelum ditetapkan sebagai anggota legislatif terpilih, Nazarudin meninggal dunia. Berdasarkan hasil Pileg 2019 Dapil I Sulsel, posisinya semestinya digantikan oleh Riezky yang menempati posisi kedua.
Namun, PDIP justru mengajukan Harun Masiku sebagai pengganti Nazarudin. Ia diketahui diajukan sebagai pengganti melalui proses pergantian antar waktu (PAW).
Partai berlambang banteng ini bahkan sempat mengajukan fatwa ke MA dan menyurati KPU agar melantik Harun. Namun, KPU kukuh dengan keputusan untuk melantik Riezky, karena Harun tidak memenuhi syarat menggantikan Nazaruddin.
Namanya bersinggungan dengan hukum, saat KPK melakukan operasi tangkap tangan atau OTT terhadap Komisioner KPU yang saat itu dijabat oleh Wahyu Setiawan.
OTT bermula dari adanya informasi terkait dugaan permintaan uang dari Wahyu kepada Agustiani Tio Feidelina, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu. Setelah mendapat informasi, tim KPK mengamankan Wahyu dan asistennya, Rahmat Tonidaya, di Bandara Soekarno-Hatta pada 8 Januari 2020.
Dari hasil pemeriksaan, KPK kemudian menetapkan Wahyu sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024. Dalam perkara inilah, Harun Masiku diduga menyuap Wahyu Rp 600 juta agar KPU mau mengubah keputusannya.
KPK memasukkan Harun Masiku ke dalam daftar buronan pada 29 Januari 2020 dan belum tertangkap hingga saat ini. Namanya juga telah ada di daftar buronan dunia dan masuk red notice Polisi Internasional atau Interpol.
Sebelum menetapkan status Harun menjadi buronan, KPK sempat hampir menangkapnya ketika berada di sekitar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta.
KPK sebenarnya sempat hampir menangkap Harun Masiku. Pada 8 Januari 2020, KPK mendeteksi Harun Masiku berada di sekitar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta. Namun, anggota Kepolisian saat itu justru menangkap penyidik KPK.
Kapolri saat itu, Jenderal Pol. Idham Azis menjelaskan, penangkapan penyidik KPK dilakukan karena anggota Kepolisian hanya menjalankan prosedur. Pasalnya, saat itu area PTIK disterilkan untuk kegiatan yang akan dihadiri Wakil Presiden Ma'ruf Amin esok harinya.
PDIP Terseret
Saat kasus ini mencuat, perhatian publik segera mengarah ke PDIP. Pasalnya, partai berambang banteng inilah yang mengusung Harun Masiku, bahkan mengajukannya untuk menggantikan posisi Nazarudin selaku anggota legislatif terpilih.
Mengutip Kompas.com, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, partainya merekomendasikan nama Harun untuk menggantikan Nazarudin karena menilai Harun adalah sosok yang bersih.
Kengototan PDIP mengajukan Harun, berdasar pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2019. Melalui putusan MA tersebut, PDIP memiliki kewenangan menentukan pengganti anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia.
Seperti diketahui, KPU tidak mengindahkan keputusan PDIP yang mengajukan Harun menggantikan Nazarudin, dan tetap kukuh pada pendiriannya untuk memutuskan Riezky Aprilia sebagai anggota legislatif terpilih dari Dapil I Sulsel.
Hasto pun membantah jika PDIP disebut melakukan negosiasi dengan KPU tentang penunjukan Harun melalui PAW. Bahkan, ia menyebut partainya justru menjadi korban. Meski demikian, tak lama setelah KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus ini, PDIP memecat Harun.
Argumen "korban" kembali dilontarkan Hasto setelah empat tahun lamanya. Dalam wawancara dengan Liputan6 pada 16 Maret lalu, ia menyebut Harun Masiku merupakan korban.
Menurut Hasto, kasus Harun sengaja dimunculkan dan dikaitkan dengan dirinya karena vokal menyuarakan dugaan kecurangan pemilu. Ia menyebut kasus Harun kerap digunakan sebagai alat intimidasi untuknya dan PDIP.
"Harun Masiku ini kan sebenarnya dia korban, karena dia memiliki hak konstitusional saat itu berdasarkan putusan Mahkamah Agung. PDI ini berjuang dengan jalur-jalur konstitusional, jalur-jalur hukum," kata Hasto.
Ia menjelaskan, berdasarkan putusan MA Harun seharusnya mendapat pelimpahan suara dari PDIP berdasarkan kebijakan partai, karena caleg terpilih pada waktu itu meninggal dunia.
Menurut Hasto, pada proses itu terdapat tekanan dari oknum KPU yang meminta imbalan. Inilah yang mendasari Harun memberikan uang sehingga dikategorikan sebagai pemberian suap.
“Tetapi sebenarnya kasus itu proses untuk mengaitkan dengan saya, padahal sudah ada tiga orang yang menjalani hukuman tindak pidana. Tetapi sebenarnya diawali kompleksitas pemilu, sehingga mereka yang memiliki kebenaran secara hukum pun masih bisa diperas agar menjadi anggota legislatif,” ujarnya.