MK Putus Pemilu Ulang di Gorontalo Akibat Minim Keterwakilan Perempuan

ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga/Spt.
Hakim Konstitusi Guntur Hamzah (tengah), Daniel Yusmic (kiri), dan Anwar Usman (kanan) menghadiri sidang putusan dismissal perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (21/5/2024).
Penulis: Ira Guslina Sufa
6/6/2024, 15.25 WIB

Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Dapil Gorontalo 6 untuk pengisian anggota DPRD Provinsi Gorontalo. Putusan itu dibuat karena ada partai politik yang tidak memenuhi syarat keterwakilan calon perempuan paling sedikit 30 persen.

“Menyatakan hasil perolehan suara partai politik dan calon anggota DPRD Provinsi Gorontalo sepanjang Dapil Gorontalo 6 harus dilakukan pemungutan suara ulang,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dalam sidang pleno di Gedung I MK, Jakarta, Kamis (6/6). 

MK memerintahkan KPU untuk melakukan PSU di seluruh TPS di Dapil Gorontalo 6 dalam waktu 45 hari sejak putusan dibacakan. Sebelum PSU, partai politik yang belum memenuhi kuota 30 persen diminta untuk memperbaiki daftar calonnya.

Dalam hal partai politik tidak mampu memenuhi syarat minimal tersebut, MK menyatakan bahwa KPU Provinsi Gorontalo mesti mencoret kepesertaan partai politik tersebut dalam pemilihan calon anggota DPRD provinsi setempat. Perintah itu merupakan amar putusan MK atas perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pileg 2024 yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perkara itu teregistrasi dengan nomor 125-01-08-29/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024.

Dalam permohonannya, PKS menyebut ada empat partai politik di Dapil Gorontalo 6 yang tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan. Partai yang tak patuh adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerindra, Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan Partai Demokrat. Menurut PKS, keterwakilan perempuan keempat partai itu hanya 27,27 persen.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa kuota 30 persen harus dipahami sebagai bentuk menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki untuk menjadi legislator. Hal ini diperlukan agar membuka peluang dan kesempatan kepada perempuan berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan negara.

MK menegaskan, syarat keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota merupakan hal yang harus diperjuangkan. Kewajiban itu merupakan salah satu amanat konstitusi mencapai kesetaraan dalam pembangunan bangsa.

“Dengan bertambahnya jumlah anggota legislatif perempuan, diharapkan mampu mewakili kepentingan kaum perempuan yang tidak selalu bisa diwakili oleh anggota legislatif laki-laki,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra membacakan pertimbangan hukum.

Di samping itu, MK juga menyoroti penerapan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 24 P/HUM/2023 perihal cara penghitungan keterwakilan perempuan. Saldi mengatakan dalam hal penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka dilakukan pembulatan ke atas.

Namun, menurut MK, KPU secara sengaja mengabaikan putusan MA, sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya ketentuan keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap (DCT) DPRD Provinsi Gorontalo pada Dapil Gorontalo 6. “Termohon sebagai institusi negara seharusnya memahami dan mematuhi putusan pengadilan, in casu Putusan Mahkamah Agung Nomor 24 P/HUM/2023, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,” kata Saldi.

Dijelaskan Saldi, KPU tidak mengubah Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 dengan mengabaikan putusan MA. Perbuatan itu menyebabkan beberapa jajaran KPU di tingkat bawah tetap menetapkan DCT anggota DPRD sekalipun terdapat partai yang tidak memenuhi kuota keterwakilan perempuan.



Reporter: Ade Rosman