Karen Agustiawan: Saya Tak Pernah Menerima Apapun dari Blackstone

ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom.
Terdakwa kasus dugaan korupsi liquefied natural gas (LNG) atau gas alam cair Galaila Karen Agustiawan (kiri) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/4/2024).
Penulis: Ira Guslina Sufa
20/6/2024, 18.41 WIB

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009–2014 Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan menyatakan tidak pernah menerima apapun dari pihak Blackstone saat menjabat sebagai orang nomor satu di Pertamina. Hal itu disampaikan Karen saat membacakan tanggapan atas replik penuntut umum (duplik) pada sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (20/6). 

"Selama saya menjadi Dirut Pertamina, saya tidak pernah menerima apa pun dari Blackstone, selain penghasilan yang sah dari Pertamina dalam bentuk gaji, tantiem, dan fasilitas lainnya," ujar Karen. 

Karen mengatakan uang yang ia terima dari Blackstone seperti yang disangkakan jaksa adalah  gaji yang diterima dari Tamarind Energy Ltd setelah enam bulan berhenti dari Pertamina. Uang itu berjumlah Rp 1,09 miliar dan sebanyak 104.016 dolar Amerika Serikat atau setara Rp 1,62 miliar. 

Menurut Karen uang itu ia terima setelah enam bulan berhenti dari Pertamina. Ia pun mengaku mulai bekerja di Tamarind sejak April 2015 hingga Desember 2019. Sebelumnya ia telah berhenti dari Pertamina sejak 1 Oktober 2014. 

"Saya pun membayar pajak dan melaporkan penghasilan atau gaji tersebut dalam Laporan SPT Pajak 2015," ujar Karen. 

Karen berpendapat dirinya tidak melanggar batasan benturan kepentingan dalam Pasal 23 Peraturan Menteri BUMN Nomor 1 Tahun 2011 dan Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN. Ia yakin tidak bersalah dalam perkara yang dituntut Jaksa. 

"Tuduhan jaksa penuntut umum bahwa kontrak kerja saya dengan Blackstone merupakan benturan kepentingan yang melanggar hukum absurd atau tidak masuk akal karena saya dijadikan terdakwa bukan karena saya menerima penghasilan yang tidak sah," ucap dia.

Sebelumnya, Karen dituntut pidana 11 tahun penjara serta denda Rp 1 miliar terkait dugaan korupsi pengadaan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di Pertamina pada periode 2011–2014.  Selain pidana utama, Karen juga dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 1,09 miliar dan 104 ribu dolar AS subsider 2 tahun penjara.

Karen didakwa merugikan negara sebesar 113,84 juta dolar AS atau setara Rp 1,77 triliun dalam kasus pengadaan LNG tersebut. Mantan Dirut Pertamina itu didakwa memperkaya diri sebesar Rp 1,09 miliar dan sebanyak 104.016 dolar AS atau setara dengan Rp 1,62 miliar, serta memperkaya suatu korporasi, yaitu perusahaan AS, Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) senilai 113,84 juta dolar AS atau setara Rp 1,77 triliun, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Pada perkara ini, Karen juga disangkakan memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang LNG potensial di AS. Persetujuan diberikan tanpa adanya pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi, analisis secara teknis dan ekonomis, serta analisis risiko.

Karen juga disebut tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS) sebelum penandatanganan perjanjian jual beli LNG CCL Train 1 dan Train 2. Ia malah memberikan kuasa kepada Yenni Andayani selaku Senior Vice President (SVP) Gas and Power Pertamina 2013–2014 dan Hari Karyuliarto selaku Direktur Gas Pertamina 2012–2014.

Keduanya diberi kuasa untuk masing-masing menandatangani LNG SPA (Sales and Purchase Agreement) CCL Train 1 dan Train 2, meski belum seluruh Direksi Pertamina menandatangani Risalah Rapat Direksi (RRD) untuk LNG SPA CCL Train 1 dan tanpa didukung persetujuan direksi untuk LNG SPA CCL Train 2. Karen turut didakwa melakukan komunikasi dengan pihak Blackstone, yang merupakan salah satu pemegang saham pada Cheniere Energy, Inc., dengan tujuan untuk mendapatkan jabatan. 

Atas perbuatannya, Karen didakwa melakukan perbuatan yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Reporter: Antara