Muhammadiyah secara resmi memindahkan seluruh dananya dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), ke Bank Muamalat dan Bank Jateng Syariah.
Direktur Eksekutif Segara Research Institut, Piter Abdullah Redjalam, meyakini keputusan ini akan memberikan pengaruh terhadap likuiditas BSI dalam jangka pendek, tetapi tidak berdampak signifikan untuk jangka panjang.
Hal ini karena penarikan dana oleh Muhammadiyah akan memiliki efek sementara pada penurunan jumlah nasabah BSI serta dana pihak ketiga. Akan tetapi, nasabah BSI dapat tumbuh kembali dan financing to deposit ratio BSI justru naik.
Muhammadiyah tidak lagi menggunakan BSI untuk pembayaran gaji anggotanya, namun tidak melarang anggota organisasi menjadi nasabah BSI.
Efek penarikan dana Muhammadiyah di BSI menjadi salah satu artikel terpopuler Katadata.co.id pada Kamis (20/06). Selain itu, ketahui juga bagaimana kebijakan baru SIM Indonesia, serta beban utang yang menghantui pemerintahan Prabowo mendatang.
Berikut Top News Katadata.co.id:
1. Muhammadiyah Pindahkan Dana dari BSI, Ini Kata Pengamat
Organisasi Masyarakat (Ormas) Keagamaan Muhammadiyah resmi mengalihkan seluruh dananya dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) atau BSI. Muhammadiyah menunjuk Bank Muamalat dan Bank Jateng Syariah sebagai penampung dana tersebut.
Direktur Eksekutif Segara Research Institut Piter Abdullah Redjalam menyatakan penarikan dana Muhammadiyah akan mempengaruhi likuiditas BSI dalam jangka pendek.
Namun, dalam jangka panjang dampaknya tidak signifikan, atau bahkan tidak ada. Hal ini tergantung pada respons dari manajemen BSI.
“Kalau manajemen bisa merespons dengan tepat, dalam jangka menengah - jangka panjang tidak akan berpengaruh terhadap kinerja BSI,” kata Piter kepada Katadata.co.id, Kamis (20/6).
Selain itu, Piter mengatakan penarikan dana Muhammadiyah juga memengaruhi jumlah nasabah BSI. Namun, ia yakin jumlah nasabah BSI tetap akan tumbuh. Meskipun Muhammadiyah tidak lagi menggunakan BSI untuk pembayaran gaji, ormas keagamaan itu tidak melarang anggotanya menjadi nasabah BSI.
2. Kebijakan Baru SIM Indonesia, Berlaku di Negara ASEAN Mulai Juni 2025
Markas Besar Kepolisian RI atau Mabes Polri mengumumkan aturan baru terkait penggunaan surat izin mengemudi (SIM) Indonesia di luar negeri. Mulai 1 Juni 2025 SIM Indonesia juga berlaku di sejumlah negara Asia Tenggara.
Merujuk informasi resmi yang ditayangkan akun instagram traffic Management Center (TMC) Polda Metro Jaya Dirregident Korlantas Polri Brigjen Pol Yusri Yunus mengatakan penerapan NIK sebagai nomor SIM menjadi langkah maju pengakuan SIM Indonesia di negara ASEAN.
Ia menyebut kebijakan ini menandai langkah maju dalam integrasi dokumen legalitas berkendara dengan dokumen negara lain seperti NPWP, BPJS dan KTP.
“Dengan kebijakan ini, warga yang berkendara di negara ASEAN tetap dapat menggunakan SIM Indonesia, tanpa keharusan memiliki SIM Internasional,” tulis TMC seperti dikutip Kamis (20/6).
Adapun negara ASEAN yang mengakui SIM Indonesia yakni Filipina, Thailand, Laos, Vietnam, Myanmar, Brunei, Singapura, dan Malaysia. Negara yang baru bergabung di ASEAN, Timor Leste, belum termasuk dalam ketentuan baru ini.
3. Terancam Babak Belur Digempur Megakonstelasi Starlink
Percaturan bisnis telekomunikasi global bersiap menghadapi disrupsi baru, Direct to Cell Starlink yang memungkinkan layanan internet satelit langsung diakses perangkat selular berteknologi LTE, tanpa alat tambahan lain.
Setelah sukses dalam uji coba pada awal tahun ini, Starlink meluncurkan 13 satelit direct to cell ke ruang angkasa pada awal Juni lalu. Layanan ini telah meningkatkan kegelisahan di kalangan industri telekomunikasi di dalam negeri.
Layanan ini diduga bakal mengarah pada keterdesakan untuk berkolaborasi atau pertarungan terbuka alias head-to-head antara raksasa penyedia layanan internet satelit dengan penyedia layanan internet nirkabel yang berbasis Stasiun Pancar-Terima Dasar atau Base Transceiver Station (BTS).
Di Amerika Serikat, Starlink berkolaborasi dengan T-Mobile untuk layanan direct to cell. Starlink akan menggunakan jaringan LTE milik T-Mobile sehingga direct to cell bisa terjadi tanpa alat tambahan berupa parabola sebagaimana layanan Starlink sekarang.
Bukan cuma Starlink yang berpotensi jadi disruptor besar industri telekomunikasi. Pasalnya, raksasa teknologi global seperti Amazon juga tancap gas menyaingi Starlink. Amazon bekerja sama dengan Vrio, anak usaha AT&T sebelum diakuisisi grup konglomerasi Werthhein, berencana meluncurkan satelit internet di Amerika Selatan.
Targetnya, layanan internet dari proyek kerja sama yang diberi nama Kuliper Project tersebut bisa tercapai pertengahan 2025 dimulai di Argentina.
4. INFOGRAFIK: Beban Utang Hantui Pemerintahan Prabowo
Pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto mewarisi beban pembayaran utang senilai Rp4.182,5 triliun sepanjang 2024-2029.
Mayoritas utang jatuh tempo berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp3.617,1 triliun. Sedangkan pinjaman dalam negeri dan luar negeri sebesar Rp565,4 triliun.
Adapun pinjaman dalam negeri berasal dari pemda, BUMN, maupun perusahaan daerah. Sedangkan pinjaman luar negeri berasal dari kreditor multilateral, bilateral, swasta asing, dan lembaga penjamin kredit ekspor.
Utang jatuh tempo pada 2025, 2026, dan 2027 merupakan yang terbesar, yakni di atas Rp800 triliun dan sedikit melandai pada dua tahun berikutnya.
Tingginya beban utang jatuh tempo berasal dari SBN, yang rata-rata mencapai Rp700 triliun per tahun.
5. Saham GOTO Marak Dilego Investor Asing Usai Sentuh Level Gocap
Saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) menjadi saham yang paling banyak dilego investor asing. Menurut data perdagangan pada Rabu (19/6), investor asing menjual saham emiten teknologi tersebut Rp 56,1 miliar.
Aksi jual seiring dengan amblesnya harga saham GOTO ke level Rp 50 per saham. Hingga penutupan sesi pertama, saham GoTo masih betah berada di level Rp 50 dengan harga tertingginya hanya Rp 51 per saham.
Namun PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) masih menjadi saham yang paling ramai dilego asing Rp 369,6 miliar.
Lalu urutan kedua diisi oleh PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Rp 135,8 miliar dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 101,1 miliar.
Adapun saham PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) paling banyak dibeli investor asing dengan pembelian bersih Rp 54 miliar.
Lalu diikuti saham PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) sebesar Rp 38,8 miliar dan PT Amman Mineral International Tbk (AMMN) Rp 34,2 miliar.