Mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan resmi divonis hukuman sembilan tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Kendati vonis ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK, ia masih belum berkomentar terkait rencana banding.
“Saya enggak akan mikir apa-apa, yang penting saya sudah berikan yang terbaik buat negara. Kalau ini balasannya, enggak apa-apa,” kata Karen pada wartawan usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (24/6).
Karen juga merasa lelah baik secara batin dan fisik usai mendengarkan keputusan majelis hakim hari ini. Perempuan ini juga tidak pernah merasa kecewa dengan putusan yang diberikan.
“Yang penting saya sudah berikan yang terbaik. Kalau ini balasannya, nanti tiba di akhirat saja, ya. Mudah-mudahan saya mendapat balasan yang sesuai dengan apa yang sudah saya korbankan untuk negara,” ujarnya.
Usai pembacaan vonis malam ini, Karen langsung menghampiri keluarganya di bangku pengunjung sidang. Ia kemudian meminta agar salah seorang anaknya tidak menangis, “Nadia, jangan menangis,” kata Karen.
Kendati demikian, tangis Karen pecah usai keluar dari ruang sidang. Ia mencari anak lelakinya, Dimas, lalu memeluknya. Dimas lalu mengusap kepala ibunya sembari menangis.
Mereka kemudian berjalan bersama hingga ke ruang bawah tanah. Karen tidak mengatakan apapun usai vonis, namun sesampainya di ruang bawah tanah, barulah ia mau mengomentari pertanyaan media.
Karen didakwa merugikan negara sebesar US$ 113,84 juta atau setara Rp 1,77 triliun dalam kasus pengadaan LNG tersebut. Mantan Dirut Pertamina itu didakwa memperkaya diri sebesar Rp 1,09 miliar dan sebanyak US$ 104.016 atau setara dengan Rp 1,62 miliar, serta memperkaya suatu korporasi, yaitu perusahaan AS, Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) senilai US$ 113,84 juta atau setara Rp 1,77 triliun.
Pada perkara ini, Karen juga disangkakan memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang LNG potensial di AS. Persetujuan diberikan tanpa adanya pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi, analisis secara teknis dan ekonomis, serta analisis risiko.
Karen juga disebut tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS) sebelum penandatanganan perjanjian jual beli LNG CCL Train 1 dan Train 2. Ia malah memberikan kuasa kepada Yenni Andayani selaku Senior Vice President (SVP) Gas and Power Pertamina 2013–2014 dan Hari Karyuliarto selaku Direktur Gas Pertamina 2012–2014.
Keduanya diberi kuasa untuk masing-masing menandatangani LNG SPA (Sales and Purchase Agreement) CCL Train 1 dan Train 2, meski belum seluruh Direksi Pertamina menandatangani Risalah Rapat Direksi (RRD) untuk LNG SPA CCL Train 1 dan tanpa didukung persetujuan direksi untuk LNG SPA CCL Train 2.
Karen turut didakwa melakukan komunikasi dengan pihak Blackstone, yang merupakan salah satu pemegang saham pada Cheniere Energy, Inc., dengan tujuan untuk mendapatkan jabatan.