Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menampung usulan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mengenai izin penyelenggaraan penyiaran platform digital seperti Netflix hingga Spotify. ATVSI meminta pemerintah menimbang aturan izin tersebut dalam RUU Penyiaran.
“ATVSI telah menyampaikan pandangannya secara tertulis terhadap berbagai isu dalam draft RUU Penyiaran, termasuk menekankan pentingnya poin pengaturan terhadap platform digital,” kata Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nezar Patria dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Masa Depan Penyiaran Pasca ASO & Disrupsi Digital" di Jakarta, Rabu (3/7).
Usulan ATVSI ini berlandaskan kekhawatiran persaingan komersial. Menurut Nezar, perubahan terhadap definisi penyiaran bertujuan agar platform digital menjadi subjek yang harus memperoleh izin dari pemerintah.
Aturan ini akan mengubah secara fundamental cara pandang dan perlakuan pemerintah terhadap platform digital dan seluruh ekosistem, termasuk para konten kreator yang menyalurkan kebebasan berekspresi melalui platform-platform digital.
“Dengan perubahan filosofi ini maka pemerintah juga harus memikirkan berbagai konsekuensi terhadap tugas dan fungsi lembaga-lembaga negara. Di antaranya administrasi penyelenggaraan perizinan, pengawasan, pengendalian, hingga bagaimana menyiapkan kelembagaan dan sumber daya agar tugas dan fungsi baru tersebut dapat dijalankan,” kata Nezar.
Selain itu, Nezar juga menegaskan bahwa para pelaku industri termasuk pemerintah tidak dapat menghindari pergeseran demografi masyarakat Indonesia dan kebiasaan masyarakat dalam bermedia. Khususnya dengan kemunculan Gen Z yang lahir sebagai masyarakat yang melek teknologi sejak usia dini, yang terbiasa dengan gawai dan internet.
“Tentu saja terdapat perubahan dalam berperilaku mengabsorbsi platform-platform komunikasi,” ujar Nezar. “Oleh sebab itu, pelaku industri juga harus mengambil langkah untuk menyelesaikan dan tetap relevan dengan pergeseran masyarakat dan mekanisme pasar.”
Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil R. Tobing mengatakan di Singapura, konten-konten asing yang akan tayang di platform di Singapura harus melewati sensor. Menurutnya, di Indonesia juga sudah ada aturan terkait sensor yang diatur dalam Undang-Undang Perfilman, namun tidak dipatuhi oleh platform seperti Viu hingga Netflix.
Selain itu, ia mencontohkan di Eropa yang memiliki ketentuan minimum jumlah konten lokal Eropa yang harus ditayangkan di platform seperti Netflix. “Sementara di Indonesia (konten di platform digital) kebablasan, hampir semua itu mungkin 95% adalah konten asing,” ujar dia.
Ketua Umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) M. Rafiq mengatakan bahwa persaingan radio saat ini adalah para platform digital. “Ga lagi radio lawan radio, radio sekarang lawannya YouTube Music, Google, Spotify, Joox, Twitter, Facebook, Instagram, Soundcloud. Kompetitor kami datang dari jauh yang tidak dibayangkan sebelumnya,” ujar dia.
Rafiq menyampaikan, kehadiran platform digital ini membawa perubahan dalam peta persaingan media, merubah cara memperoleh dan mengelola data khalayak, hingga mengubah strategi promosi dan beriklan.
“Namun, UU Penyiaran, UU Pers, UU Perfilman, UU Telekomunikasi tidak berubah,” katanya.
Selain itu, ia juga menyoroti platform digital yang hadir dengan menargetkan masyarakat Indonesia sebagai konsumen tidak membayar biaya-biaya atau memiliki izin seperti para pelaku usaha di industri penyiaran di Indonesia.
Sementara para pelaku industri radio harus memiliki izin seperti Izin Stasiun Radio (ISR) dan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Di samping itu juga harus membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi, gaji dan asuransi karyawan, hingga mematuhi sensor dan undang-undang penyiaran.