Ahli Tata Negara Kritik Revisi UU Wantimpres, Dinilai Untungkan Elite

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Pakar Hukum Tata Negara Bvitri Susanti saat diskusi Kedai Kopi OTW 2024 \"Nyawa Demokrasi di Tangan Jokowi\" di Jakarta, Selasa (15/8).
12/7/2024, 13.48 WIB

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres tidak menguntungkan publik. Menurutnya, undang-undang ini justru menguntungkan para elit politik.

“Makanya diburu-buru. Dibuat sebelum pemerintahan baru, biar bisa diberi jabatan,” kata Bivitri pada Katadata, Jumat (12/7).

DPR sudah mengesahkan revisi undang-undang ini sebagai usul inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna Kamis (11/7) kemarin. Hal yang berbeda dari pengesahan ini adalah hanya butuh waktu singkat untuk menyusun rancangan undang-undang Wantimpres hingga dibawa ke rapat paripurna. 

Padahal, revisi UU Wantimpres ini tidak masuk dalam program legislasi nasional atau Prolegnas prioritas 2020–2024. Bivitri menyatakan revisi undang-undang ini berada dalam kategori yang sama dengan UU Kementerian Negara. 

Dengan dua undang-undang ini, akan ada berbagai jabatan baru yang muncul dan bisa diisi oleh konfigurasi politik yang memenangkan Pemilu 2024 lalu. “Saya rasa ini ada kaitannya dengan Presidential Club (yang digagas oleh Prabowo Subianto),” kata Bivitri. 

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum atau STH Indonesia Jentera ini menggolongkan undang-undang yang tengah digodok DPR dalam dua kelompok. Pertama, undang-undang untuk membagi kekuasaan seperti Revisi UU Wantimpres dan UU Kementerian negara. Kedua, undang-undang untuk mematikan pengawasan dari publik seperti UU TNI Polri.

Tidak hanya terkait bagi-bagi jabatan, Bivitri juga menyoroti perubahan nomenklatur dari Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Menurutnya ini ganjil, karena setelah amandemen keempat UUD 1945, DPA digantikan dengan sebuah dewan bernama Wantimpres.

Dalam amandemen keempat UUD 1945, Wantimpres sendiri bukanlah sebuah lembaga. Bivitri mengatakan presiden tidak butuh lembaga penasihat khusus karena ia sudah punya menteri dan staf khusus dengan tugas sebagai penasihat.

“Ini mau dibalikin lagi, seperti Orde Baru lagi,” ujar Bivitri.

Jokowi sendiri masih enggan mengomentari pengubahan nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung alias DPA. Jokowi mengatakan rencana perubahan tersebut merupakan inisiatif DPR, sehingga segala persoalan yang menyangkung upaya untuk mengganti terminologi Wantimpres menjadi DPA dapat ditanyakan kepada DPR.

Adapun Politikus Partai Gerindra Maruarar Sirait (Ara), di sisi lain, optimistis Jokowi akan menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung atau DPA di masa pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto mendatang. Maruarar mengatakan figur Jokowi punya kapasitas mumpumi untuk memimpin sebuah lembaga tinggi yang punya fungsi memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden dalam menjalankan pemerintahan tersebut.

"Saya harapkan Pak Jokowi menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung ke depan. Karena beliau punya pengalaman menjadi wali kota, gubernur hingga presiden," kata Ara kepada wartawan di Istana Merdeka Jakarta pada Rabu (10/7).

Adapun Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, struktur organisasi dan kelembagaan DPA nantinya sama dengan Wantimpres. Selain itu, terdapat pula perubahan jumlah anggota. 

Dia menambahkan, nantinya jumlah anggota DPA tak dibatasi dan menyesuaikan kebutuhan presiden. Pada Undang-Undang lama diatur bahwa anggota Wantimpres berjumlah 8. Dalam revisi tidak ada batasan baku mengenai jumlah orang yang akan duduk di DPA.

Terdapat pula perubahan ketiga, di mana RUU Wantimpres akan mengatur mengenai syarat menjadi anggota DPA. Baleg menyetujui DPA diisi oleh orang yang duduk atau pernah duduk sebagai pejabat negara.

 

Reporter: Amelia Yesidora