KDRT Masih Marak, Pemerintah Siap Wajibkan Bimbingan Pernikahan

ANTARA FOTO/Didik Suhartono/rwa.
Sejumlah pasangan pengantin berjalan menuju Balai Kota Surabaya saat nikah massal di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (2/7/2024).
16/7/2024, 12.39 WIB

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan atau Kemenko PMK tengah menyiapkan nota kesepahaman atau MoU antar kementerian untuk memperkuat bimbingan perkawinan. Alasannya adalah tingginya perceraian dan kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Salah satu wacananya adalah tidak memberi buku nikah atau akta pernikahan pada pengantin baru yang belum menjalani bimbingan perkawinan dan kesehatan reproduksi.

 “Kemarin Kementerian Agama sempat ada ini wacana, bagaimana kalau misalnya buku nikah itu enggak diberikan? Kalau mereka belum melakukan bimbingan perkawinan,” kata Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum di Gedung Kemenko PMK, Senin (15/7).

Perempuan yang akrab disapa Lisa ini memaparkan bimbingan perkawinan dibutuhkan masyarakat Indonesia dengan keadaan sekarang. Lisa menyebut jumlah perceraian dan pernikahan Indonesia fluktuatif sejak 2018 lalu, namun ada tren penurunan pernikahan dan peningkatakan perceraian. Berikut perbandingan datanya:

Dari 463.653 kasus perceraian di Indonesia, penyebab terbanyak adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus. Hal ini terjadi pada 251.828 kasus perceraian atau setara 61,6% dari total kasus perceraian di Indonesia. Faktor kedua adalah ekonomi (108.488 kasus) dan meninggalkan salah satu pihak (34.322 kasus).

Selain itu, Kemenko PMK menyebut salah satu urgensi bimbingan perkawinan adalah masih tingginya kekerasan terhadap anak. Dari data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2021 lalu, empat dari 10 anak perempuan serta tiga dari 10 anak laki-laki usia 13–17 tahun pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dalam hidupnya.

Pelaku kekerasan terhadap anak sendiri paling banyak (44%) dilakukan oleh ibu kandung, diikuti dengan ibu atau ayah tiri (22%). “Ini berarti delapan fungsi keluarga belum terjalankan dan belum siap membentuk keluarga,” ujar Lisa.

 Nantinya, MoU ini akan melibatkan enam kementerian mulai dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja. Ada juga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.

 

 

Reporter: Amelia Yesidora