Soal Anggaran Makan Bergizi Gratis, Thomas Djiwandono Enggan Komentar

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nym.
Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono menyampaikan keterangan kepada wartawan di Kompleks Kemenkeu, Jakarta, Kamis (18/7/2024).
Penulis: Rahayu Subekti
18/7/2024, 19.59 WIB

Presiden terpilih Prabowo Subianto dikabarkan saat ini tengah mengkaji opsi pemangkasan anggaran untuk makan bergizi gratis namun belum ditentukan skemanya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono belum mau memberikan penjelasan detail dalam perencanaan transisi anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2025.

“Yang bisa saya katakan adalah selama hal yang menyangkut program unggulan apakah itu makan bergizi gratis akan selaras dengan prinsip Bu Sri Mulyani,” kata Thomas dalam konferensi pers di Gedung Kemenkeu, Kamis (18/7).

Thomas yang saat ini masih menjadi Bendahara Umum Partai Gerindra itu mengatakan belum saatnya untuk membahas dengan rinci salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo. Untuk itu, Thomas masih enggan untuk menanggapi lebih lanjut.

“Untuk hal yang sifatnya pertanyaan untuk makan bergizi gratis tadi saya rasa ini bukan saatnya," ucap Thomas.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai anggaran untuk program makan bergizi gratis masih terlalu besar. Dalam RAPBN 2025, anggaran yang dialokasikan untuk program tersebut mencapai Rp 71 triliun.

“Anggaran makan bergizi gratis itu masih terlalu besar secara total jadi sebaiknya anggaran makan bergizi gratis difokuskan dulu ke pilot project,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Kamis (18/7).

Bhima mengatakan, program tersebut dapat diprioritaskan ke daerah-daerah yang memiliki angka gizi buruk tinggi, daerah miskin, dan daerah terluar misalnya. Bhima mengungkapkan, akan lebih baik dilakukan sebagai percontohan terlebih dahulu.

“Nanti dilihat apakah kemudian berhasil makan siang gratisnya, baru diperluas tahun kedua, ketiga, dan keempat,” ucap Bhima.

Bhima mengatakan, jika anggaran besar langsung digelontorkan untuk program tersebut akan ada sejumlah potensi risiko. Hal itu termasuk risiko tata kelola jika program tersebut gagal hingga anggaran tidak terserap secara optimal.

“Anggaran ini bisa juga menjadi ladang korupsi, itu yang juga kemudian dikhawatirkan. Nah efektivitasnya belum terukur dan belum teruji tapi anggarannya besar,” ucap Bhima.

Reporter: Rahayu Subekti