Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka opsi untuk menggelar penyidikan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus dugaan korupsi suap dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Jawa Timur tahun anggaran 2019-2022.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto mengatakan sebelum melakukan penyidikan ini, penyidik KPK akan akan meminta para tersangka dalam perkara tersebut untuk mengembalikan uang ataupun aset yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi.
"Kalau seandainya yang bersangkutan menolak tindakan yang dilakukan tim penyidik, bisa dengan penyitaan aset-aset yang bersangkutan," kata Tessa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (18/7).
Tim penyidik KPK akan menggelar penyidikan TPPU apabila ditemukan indikasi adanya upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan aset-aset bernilai ekonomis yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
"Apabila diketahui uang tersebut ternyata diahlikan, dipindahtangankan ke subjek lain, menjadi bagian dari pencucian uang, terbuka kemungkinan untuk kita TPPU-kan. Jadi banyak cara untuk mengembalikan aset tersebut atau asset recovery," ujarnya.
Pada 12 Juli 2024, KPK mengumumkan telah menetapkan 21 tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi suap pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Jawa Timur tahun anggaran 2019-2022.
Tersangka penerima suap ini terdiri dari tiga orang penyelenggara negara dan satu staf penyelenggara negara. Sementara untuk 17 tersangka pemberi suap, terdiri dari 15 pihak swasta dan dua orang penyelenggara negara.
Penetapan tersangka tersebut berdasarkan surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) yang diterbitkan pada tanggal 5 Juli 2024.
"Penyidikan perkara ini merupakan pengembangan dari OTT (operasi tangkap tangan) yang dilakukan terhadap STPS (Sahat Tua P Simanjuntak) yang merupakan Wakil Ketua DPRD Jatim dan kawan-kawan oleh KPK pada September 2022," kata Tessa.
Pada September tahun lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Jawa Timur, memvonis Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif Sahat Tua P Simanjuntak dengan hukuman sembilan tahun kurungan penjara dalam kasus korupsi hibah pokok pikiran (Pokir) DPRD Jatim Tahun Anggaran 2021. Kemudian denda sebesar Rp1 miliar subsider hukuman kurungan enam bulan penjara.
Selain itu, hakim juga mewajibkan terdakwa Sahat membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp39,5 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap. Jika tidak bisa membayar uang pengganti, maka harta miliknya disita oleh negara dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Jika hartanya tidak cukup, diganti dengan pidana penjara selama empat tahun
Hakim menilai terdakwa Sahat melanggar pasal 12 a juncto pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Sahat Tua P Simanjuntak, yakni dilarang untuk menduduki dalam jabatan publik selama empat tahun terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.
Sahat Tua Simanjuntak terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Desember 2022. Sahat bersama anak buahnya Rusdi dan Muhammad Chozin (almarhum), menerima suap dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi alias Eeng.
Suap itu diterima Sahat sebagai imbalan memuluskan pencairan dana hibah kelompok masyarakat (Pokmas). Sepanjang 2020 hingga 2023, sekitar Rp200 miliar dana hibah yang berhasil dicairkan olehnya.
Sementara Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi kini sudah divonis 2,5 tahun penjara. Keduanya mendapat vonis yang cukup ringan karena statusnya sebagai justice collaborator.