Top News: Inovasi Telkom untuk Saingi Starlink, Investasi Iklim Bank Mandiri

Airbus
Menara internet terbang HAPS
8/8/2024, 05.35 WIB

Telkom menyiapkan inovasi baru untuk bersaing dengan Starlink, BEI ancam tindak keras 50 emiten yang sudah lama terancam delisting, mahalnya investasi iklim, sera profil Temu.

Berita-berita terpopuler pada Rabu (7/8) kami rangkum menjadi Top News Katadata.co.id.

1. Wi-Fi 7 dan Menara Internet Terbang Senjata Baru Telkom Salip Kecepatan Starlink

Telkom melalui anak usahanya yakni Telkomsel dan Mitratel alias PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk menyiapkan 'senjata' baru untuk mengalahkan kecepatan internet Starlink.

Senjata yang dimaksud yakni Wi-Fi 7 dan menara internet terbang atau flying tower system. Mitratel mengembangkan menara internet terbang menggunakan teknologi HAPS buatan anak usaha Airbus, AALTO HAPS Ltd.

Berdasarkan laman resmi AALTO, latensi atau keterlambatan transmisi data HAPS lima sampai 10 mili detik.

Latensi itu lebih rendah ketimbang satelit geostasioner orbit atau GEO lebih dari 600 mili detik maupun satelit Low Earth Orbit alias LEO lebih dari 50. Starlink menyediakan layanan internet berbasis satelit LEO.

Berbeda dengan buffering, contoh latensi yakni jeda waktu saat mengeklik link atau tautan hingga halaman web terbuka.

Akan tetapi, Direktur Utama Mitratel Theodorus Ardi Hartoko menyampaikan belum ada uji coba terkait kecepatan internet flying tower system.

2. BEI Akan Tindak Keras Emiten Sudah Lama Terancam Delisting Tapi Tidak Buyback

Bursa Efek Indonesia (BEI) akan menindak keras terhadap 50 emiten yang sudah disuspensi lama dan kini terancam delisting. Bahkan terdapat emiten yang sudah disuspensi sejak 2018 atau 65 bulan.

Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, menyatakan agar bisa delisting, harus ada pihak yang siap melakukan buyback. Jika bursa memaksakan buyback tanpa ada pihak yang siap, delisting tidak akan berjalan mulus.

Ia menegaskan tujuan utamanya adalah memastikan ada pihak yang siap dan memiliki dana untuk membeli saham publik tersebut.

Oleh karena itu, saat ini BEI komunikasi yang tengah dilakukan dengan perusahaan tercatat adalah memastikan bahwa pihak-pihak tersebut sudah siap dengan dana untuk buyback.

“Ujung dari buyback adalah bagaimana memastikan ada pihak yang memiliki (saham) dan untuk melakukan buyback,” kata Nyoman kepada wartawan di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (7/8

3. Waskita Karya Terancam Delisting, Ini Penjelasan BEI

Bursa Efek Indonesia (BEI) memberikan penjelasan terkait potensi penghapusan saham dari papan bursa atau delisting emiten konstruksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Waskita Karya Tbk (WSKT).

Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna mengatakan, Waskita Karya saat ini memang tengah dalam pemantauan bursa.

Menurut dia, saham emiten masuk kriteria delisting salah satunya jika perdagangan sahamnya dihentikan untuk jangka waktu yang relatif lama dan belum ada perubahan signifikan terkait alasan suspensi.

"Pada saat menentukan kapan di delisting, tentu kami perlu memperhatikan peraturan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI,” kata Nyoman kepada wartawan di Gedung Bursa Efek Indonesia, Rabu (7/8).

Nyoman menyebut hal yang menjadi perhatian BEI dalam memutuskan men-delisting saham satu emiten adalah perlindungan investor.

Jika harus delisting, menurut Nyoman, perusahaan atau pihak yang ditunjuk, termasuk pengendali wajib melakukan buyback atau pembelian kembali saham.

4. Bank Mandiri Sebut Mahalnya Investasi Iklim hingga Regulasi Jadi Tantangan

PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) berupaya keras untuk mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon, namun perjalanan tersebut bukan tanpa tantangan. Salah satunya yaitu investasi iklim yang mahal.

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Direktur Bank Mandiri, Alexandra Askandar, dalam acara Katadata SAFE 2024 di Jakarta, Rabu (7/8). "Biaya yang dibutuhkan untuk investasi iklim masih tinggi, sedangkan manfaat jangka pendek belum terasa nyata," ujarnya.

Meskipun banyak pihak menyadari manfaat jangka panjang dari investasi berkelanjutan, terutama dalam mengurangi emisi karbon, prioritasi bisnis seringkali menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan.

Sehingga, sangat penting untuk menyeimbangkan antara keuntungan jangka pendek dan investasi jangka panjang yang berkelanjutan.

5. Mengenal Temu, E-commerce Cina yang Tiga Kali Ditolak Masuk Indonesia

Pesaing TikTok asal Cina yakni Temu ternyata sudah tiga kali mendaftarkan merek dagang ke Kementerian Hukum dan HAM Indonesia, namun terus ditolak. Apa alasannya?

Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Fiki Satari menyampaikan, e-commerce asal Cina itu berupaya mendaftar ke Indonesia sejak September 2022.

Akan tetapi, upaya berulang Temu itu gagal karena sudah ada merek serupa yang beroperasi di Indonesia. "Namun, ini terus dibanding," ujar Fiki dikutip dari Antara, Selasa malam (6/8).

Selain itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan atau Kemendag Isy Karim mengatakan, model bisnis Temu yakni produsen langsung menjual produk ke konsumen atau manufacture to customer (MtoC).