Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar langsung mendapat tugas khusus dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) sehari setelah dirinya dilantik pada Senin, 19 Agustus lalu. Ikrar mengaku mendapat tugas dari Jokowi untuk menekan harga obat dan mempercepat proses uji klinis obat yang diproduksi di dalam negeri.
Jokowi menyampaikan istruksi tersebut saat mengundang Ikrar ke Istana Merdeka Jakarta pada Selasa (20/8). Menurut cerita Ikrar, Jokowi menyampaikan keluhan harga obat di dalam negeri empat kali lebih tinggi daripada harga obat di luar negeri.
Kepala negara meminta harga obat domestik dapat dikontrol sehingga dapat mengimbangi harga obat generik di negara tertangga seperti Malaysia, Filipina dan Singapura. Jokowi meminta BPOM untuk bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
"Kita harus bisa buat harga eceran tertinggi pada saat keluar izin. Kita kan tahu modal produksinya, maka kita tentukan. BPOM memang bukan kapasitasnya menentukan, tapi bisa kerja sama dengan Kemenkes dan Kemendag," kata Ikrar kepada wartawan seusai pertemuan dengan Jokowi.
Rendahnya Pengadaan NaCI
Ikrar menambahkan, bahwa presiden juga menyoroti rendahnya pengadaan larutan infus garam farmasi natrium klorida alias NaCl. Sejauh ini, Indonesia baru sanggup menyediakan 1,5 juta ton NaCl per tahun di tengah kondisi kebutuhan total domestik sebesar 4,7 juta ton.
"Masih kurang sekitar hampir 70% dan ini impor. Sementara kita di sini banyak tapi tidak bisa produksi sesuai dengan standar. Padahal ini garam loh," ujarnya.
Dia menganggap mahalnya harga obat dalam negeri dipicu oleh harga promosi atau beban iklan yang tinggi. Untuk itu, pemerintah akan memberi arahan kepada perusahaan farmasi untuk menekan modal iklan.
Selain persoalan beban iklan, tingginya harga obat domestik juga hampir 90% karena bahan baku obat berasal dari impor. "Dengan perusahaan menekan iklan, jangan berlebihan maka logikanya harga bisa turun," kata Ikrar.
Harga Obat RI Lebih Mahal dari Malaysia
Sebelumnya, narasi mahalnya harga obat di Indonesia dibanding negara Malaysia jadi perbincangan di media sosial pada awal Juli lalu. Masyarakat mengkritik kebijakan pemerintah yang tak mampu mengendalikan harga obat di dalam negeri.
Mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama menyebut kabar tersebut adalah fakta. Bahkan harga obat di Indonesia juga jauh lebih mahal dibanding harga obat di India.
Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi itu mengatakan bahwa dirinya menemukan langsung fakta murahnya harga obat di India dibanding Indonesia. Berdasarkan pengalaman berkantor di New Delhi India sejak 2015 hingga 2020, dia banyak mendapat pesanan dari dokter di Indonesia untuk membelikan obat dari India.
Ia mencontohkan harga 1 tablet Atorvastatin 20 mg di apotik di Jakarta adalah Rp 6.160 dan harga di India hanya 4,9 Indian rupees atau Rp 1.000. Selanjutnya 1 tablet Clopidogrel 75 mg di Jakarta adalah Rp 7.835 dan di India hanya 7,7 Indian rupees atau setara Rp 1.540.
Demikian pula dengan Telmisartan 40 mg di Jakarta adalah Rp 5.198, dan harga di India hanya 7,4 Indian rupees atau setara Rp 1.500. Rata-rata perbandingan harga obat di India dan Indonesia menurut Tjandra mencapai 6 kali lipat.
“Sebenarnya informasi harga obat di negara kita memang relatif lebih mahal dari negara tetangga memang sudah lama sekali kita dengar, dan nampaknya belum kunjung teratasi sampai sekarang,” ujar Tjandra seperti dikutip Ahad (7/7).