Pakar Hukum UGM: Upaya DPR Kebut Revisi UU Pilkada Berpotensi Langgar Konstitusi

ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Saksi ahli dari pemohon Bivitri Susanti (kiri) dan Zainal Arifin Mochtar (kedua kiri) bersiap memberikan keterangan dalam sidang uji formil UU KPK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Penulis: Ira Guslina Sufa
21/8/2024, 10.01 WIB

Langkah Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat mengebut pembahasan Revisi Undang-Undang tentang pemilihan kepala daerah atau Pilkad dinilai berpotensi langgar konstitusi. Pakar hukum tata negara dari Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan upaya revisi harus dilakukan dengan hati-hati. 

“Jangan menyerempet ke hal-hal yang sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi,” ujar Zainal saat dihubungi Katadata.co.id Rabu (21/8). 

Pada hari ini Baleg DPR memang mengagendakan tiga rapat berkaitan dengan revisi UU Pilkada. Rapat digelar sehari setelah MK mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXI/2024 yang mengubah syarat pencalonan kepala daerah dari minimal 25% suara atau 20% kursi di parlemen. 

Menurut Zainal, putusan yang dibuat MK merupakan angin segar demokrasi lantaran menghapuskan diskriminasi yang selama ini ada dalam Pilkada terutama untuk calon independen. Pembatasan suara minimal 25% untuk bisa mengusulkan calon kepala daerah juga membuat partai yang tidak memiliki kursi di DPRD kehilangan hak untuk mengusulkan calon kepala daerah. 

Dalam catatan Zainal, praktik pencalonan di Pilkada selama ini menyuburkan terbentuknya koalisi gemuk di Pilkada. Hal itu membuat adanya praktik untuk menyiapkan calon bayangan agar pilkada tetap berjalan. Selain itu juga muncul fenomena adanya kotak kosong untuk melawan pasangan calon yang diusung koalisi partai seperti yang terjadi di pemilihan kepala daerah Surakarta pada 2020. 

“Saya kira putusan MK mengakhiri itu dan meredam fenomena kotak kosong dan borong partai. Itu sebabnya saya kira putusan ini bagus,” ujar Zainal lagi. 

Di sisi lain ia mengkritisi rencana Baleg yang ingin merevisi UU Pilkada setelah adanya putusan MK. Ia mengingatkan agar revisi yang bergulir tidak diarahkan untuk mengubah putusan yang sudah baik untuk demokrasi. Ia pun mendukung apabila revisi dilakukan untuk memperjelas aturan yang belum detail seperti mengenai ketentuan apakah mantan kepala daerah bisa mencalonkan diri untuk posisi lain. 

“Revisi jangan merusak sesuatu yang sudah dibuat baik menjadi mundur menjadi kemunduran demokrasi,” ujar Zainal. 

Amanat Konstitusi

Zainal mengatakan revisi yang dilakukan berdekatan dengan akhir tahapan pilkada dan setelah keluarnya putusan MK. Ia mengingatkan agar DPR tidak melampaui wewenang untuk turut menafsirkan bunyi pasal dalam Undang-Undang. Ia menyebut upaya untuk melakukan penafsiran Undang-Undang oleh DPR bisa menyalahi konstitusi. 

“MK adalah penafsir konstitusi yang mengikat, harusnya diikuti. Bila ada upaya untuk tidak mengikuti itu sama dengan mengangkangi putusan konstitusi apalagi karena putusannya untuk menyelamatkan demokrasi,” ujar Zainal.  

Baleg diagendakan akan menggelar tiga agenda rapat pada Rabu (21/8). Pada pukul 10.00 WIB, agenda Rapat Kerja dengan Pemerintah dan DPD terkait pembahasan RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang. Kemudian, rapat dilanjutkan pada pukul 13.00 WIB dengan agenda pembahasan RUU Pilkada di tingkat panitia kerja (Panja).

Lalu, pada pukul 19.00 WIB, Baleg DPR mengagendakan rapat kerja dengan pemerintah dan DPD terkait pengambilan keputusan atas hasil pembahasan RUU Pilkada. Rapat baleg ini ditenggarai sengaja dibuat untuk menganulir putusan MK soal ambang batas Pilkada. 

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan rapat yang digelar Baleg bisa saja digunakan untuk memberi penafsiran berbeda atas putusan yang dibuat MK.  Hal itu dilakukan untuk mengamankan tiket pilkada di sejumlah daerah. 

"Padahal saya sudah baca putusannya dan teman-teman kalau mau baca putusannya bisa di download jelasnya luar biasa putusan itu tidak bisa ditafsirkan berbeda," ujar Bivitri seperti dikutip, Rabu (21/8). 

Adapun, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan terbaru yang mengatur syarat pencalonan kepala daerah di pemilihan kepala daerah. Dalam putusan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Selasa (20/8) MK menetapkan syarat baru dalam pengajuan calon kepala daerah.

Gugatan mengenai syarat pencalonan diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada. Kedua partai meminta agar MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional karena membatasi hak partai yang tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mengusulkan calon di Pilkada. 

“Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk Sebagian," ujar hakim Enny Nurbaningsih yang membacakan putusan. 

UU Pilkada sebelumnya mengatakan bahwa calon kepala daerah di provinsi maupun kabupaten dan kota harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan suara paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilu. 

Reporter: Ade Rosman, Amelia Yesidora, Ira Guslina Sufa