Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyatakan demokrasi Indonesia menghadapi masalah serius atau darurat. Kondisi ini ditandai ketegangan hukum, manipulasi politik yang dapat berisiko mengancam konstitusi tatanan bernegara dan bermasyarakat.
Para akademisi UGM itu menilai maraknya peristiwa manuver politik dari mayoritas kekuatan parlemen di DPR yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat pencalonan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 jelas merusak tatanan politik dan hukum serta kaidah keadaban demokrasi.
Menyikapi situasi darurat ini, para dosen UGM menyatakan sikap mengecam segala bentuk intervensi terhadap lembaga legislatif dan yudikatif yang ditujukan untuk memanipulasi prosedur demokrasi sebagai sarana melanggengkan kekuasaan.
Selain itu, mereka juga menolak berbagai bentuk penerapan legitimasi praktik kekuasaan yang mendistorsi prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat serta mendorong dan menuntut penyelenggaraan Pilkada yang bermartabat dan berkeadilan, sesuai kaidah hukum yang benar dan adil.
Lebih jauh, para dosen UGM mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tetap menjaga marwah dan prinsip sebagai penyelenggara Pilkada yang bermartabat dengan berpegang teguh pada tatanan aturan hukum yang ditetapkan.
"Termasuk mematuhi dan menjalankan sepenuhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 sebagai landasan hukum," berikut bunyi keterangan pers yang dirilis oleh Humas UGM pada Kamis (22/8).
Dalam pesan seruan ini, dosen UGM juga mengajak semua lapisan masyarakat sebagai subjek demokrasi untuk berkonsolidasi dan berpartisipasi aktif menyelamatkan Demokrasi Indonesia.
DPR dijadwalkan menggelar sidang paripurna terkait pengambilan keputusan tingkat dua revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota alias UU Pilkada pada Kamis (22/8), hari ini.
Informasi teranyar mengabarkan rapat tersebut ditunda karena forum pengambilan keputusan tertinggi di DPR itu tak kunjung memenuhi kuorum meski sempat diundur selama 30 menit.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang memimpin sidang mengatakan hanya 89 orang dari 575 total anggota DPR yang hadir. Sepuluh di antaranya berasal dari fraksi Gerindra. Adapun 87 lainnya menyampaikan izin tidak bisa mengikuti sidang.
Penundaan paripurna membuat nasib revisi UU Pilkada yang sebelumnya sudah disetujui oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah masih mengambang. Rapat Baleg yang berlangsung tiga sesi pada Rabu (21/8) berbuah sepakat. Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menolak.
Terdapat dua materi krusial revisi UU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja revisi UU Pilkada ini. Pertama, berkaitan dengan Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan yang disesuaikan dengan putusan Mahkamah Agung (MA).
Pasal 7 ayat (2) huruf e, disepakati berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.
Dengan merujuk pada aturan MA, DPR mengabaikan putusan terbaru yang dibuat Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Dalam sidang pada Selasa (22/8) MK menegaskan bahwa penghitungan syarat usia calon kepala daerah harus terhitung sejak penetapan pasangan calon, bukan saat pasangan calon terpilih dilantik menjadi kepala daerah.
Materi krusial kedua berkaitan dengan perubahan Pasal 40 UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam revisi terbaru, DPR hanya mengakomodasi sebagian dari putusan MK.
DPR menyimpulkan persyaratan pencalonan kepala daerah tetap mengacu pada ambang batas 25% suara sah atau 20% jumlah kursi untuk partai yang ada di parlemen. Sedangkan syarat suara berdasarkan persentase jumlah pemilih tetap sebagaimana ditetapkan MK hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPR.