Ahli Hukum Akan Ajukan Judicial Review UU Tipikor

pixabay.com/succo
Ilustrasi Eksepsi
22/9/2024, 17.56 WIB

Ahli hukum, Maqdir Ismail, akan mengajukan permohonan judicial review atas Undang-Undang Nomor 31/1999 jo Undang-Undang Nomor 20/2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) ke Mahkamah Konstitusi. Maqdir akan mewakili sejumlah kliennya dalam pengajuan judicial review tersebut.

Judicial review adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma yang mencakup pengujian terhadap materi muatan undang-undang (uji materiil) dan pembentukan undang-undang (uji formil). 

Maqdir mengatakan, permohonan judicial review ini didasari oleh upaya pemberantasan korupsi yang belum efisien dan efektif karena aparat penegak hukum lebih memfokuskan pada besarnya kerugian negara.

"Hal ini mengaburkan esensi korupsi itu sendiri, yaitu perbuatan curang yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara tidak sah, baik bagi diri sendiri maupun pihak lain," kata Maqdir dikutip dari keterangan tertulis, Minggu (22/9).

Dia mengatakan, pasal tersebut pada praktiknya selama ini sering kali hanya menitikberatkan pada aspek pembuktian kerugian negara dan kesalahan kesalahan administrasi. Hal itu seringkali tanpa didasari oleh ada tidaknya niat jahat (mens rea) untuk melakukan tindakan koruptif dan praktik suap (bribery) yang nyata.

Dia mengatakan, revisi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sangat diperlukan untuk memastikan bahwa penegakan hukum antikorupsi di Indonesia lebih berfokus pada tujuan utama, yaitu menghukum tindakan memperkaya diri, orang lain, atau badan secara tidak sah.

Rekomendasi utama yang diusulkan adalah mencabut kedua pasal tersebut atau menambahkan ketentuan yang secara eksplisit mensyaratkan adanya niat jahat. Selain itu, pencabutan kata “termasuk” dan penggantian dengan “kecuali” pada Pasal 2g UU Keuangan Negara juga diperlukan untuk memisahkan secara tegas keuangan perusahaan BUMN/BUMD dari cakupan keuangan negara.

"Diharapkan dengan perubahan ini, direksi BUMN atau BUMD tidak lagi dibayangi oleh ketakutan akan delik pidana ketika mengambil keputusan bisnis demi pengembangan perusahaan, selama keputusan tersebut diambil dengan itikad baik dan sesuai dengan ketentuan," ujarnya.