Pimpinan MPR mendorong agar Presiden Indonesia kedua Soeharto dan Presiden Indonesia keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mendapat gelar pahlawan nasional.
"Tidak perlu ada lagi dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa yang tak pernah tahu dan terlibat pada berbagai peristiwa kelam masa lalu," kata Ketua MPR Bambang Soesatyo usai Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan 2019 - 2024 di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (25/9).
Pimpinan MPR mengusulkan agar jasa dan pengabdian Presiden Indonesia pertama Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur mendapat penghargaan yang layak.
MPR menerima surat dari Fraksi Partai Golkar tertanggal 18 September perihal kedudukan Pasal 4 Ketetapan atau Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 yang membahas soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme alias KKN.
Status hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 dinyatakan masih berlaku menurut TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR 1960 sampai dengan 2002.
Meski begitu, MPR sepakat menghapus nama Soeharto dalam Pasal 4 Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang KKN, karena kasusnya dianggap sudah selesai lantaran yang bersangkutan telah wafat.
Pimpinan MPR juga menerima surat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB perihal kedudukan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang berisi pemberhentian sebagai presiden.
Rapat gabungan pimpinan MPR sepakat bahwa Tap MPR Nomor II/MPR/2001 tidak berlaku lagi, sebagaimana dinyatakan dalam Tap MPR Nomor I/MPR/2003.
Bambang Soesatyo yang akrab disapa Bamsoet menegaskan MPR merupakan aktualisasi dari permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia, sehingga harus merajut persatuan bangsa.
"Layaknya benang yang mengikat kain berbagai warna, MPR menganyam harapan dan cita-cita bangsa dalam satu harmoni," kata dia.