Bank Dunia Sorot Petani Hidup Sulit meski Harga Beras Tinggi, Ini Respons Jokowi

ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/YU
Sejumlah warga membeli sayuran milik petani saat gelaran Gerakan Belanja Sayuran Langsung ke Petani (Gerbas Tani) di Desa Kedungrejo, Lumajang, Jawa Timur, Kamis (19/9/2024).
26/9/2024, 14.29 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menanggapi catatan Bank Dunia yang menyebut situasi petani di Indonesia tidak sejahtera meskipun harga beras eceran domestik cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan harga di negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).

Jokowi menjelaskan bahwa untuk memahami harga beras di Indonesia, perlu melihat harga Free On Board atau BOD yang berkisar antara US$ 530-600 per ton atau sekira Rp 8-9 juta. Besaran FOB mencakup pada biaya produksi, biaya transportasi dari lokasi produksi ke pelabuhan pengiriman, dan biaya pemuatan barang ke kapal.

Selain itu, harga beras di Indonesia juga turut dipengaruhi oleh biaya pengiriman (freight) US$ 40 per ton atau sekira Rp 607 ribu per ton. Biaya ini mencakup pengiriman dari negara penghasil atau importir beras ke Indonesia yang dapat mempengaruhi harga beras di tingkat konsumen.

“Kalau mau membandingkan itu harusnya di konsumen. Di situ akan kelihatan,” kata Jokowi seusai meninjau ketersediaan beras di Pergudangan Tanah Grogot, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur pada Kamis (26/9).

Pada momen tersebut, Jokowi berpendapat bahwa jika harga beras baik, maka hal itu seharusnya paralel ikut mendongkrak harga gabah di level petani. Dia menjelaskan saat ini harga gabah telah meningkat dari Rp 4.200 per kilogram (kg) menjadi Rp 6.000 per kg.

“Kalau harga beras baik, artinya harga gabah juga baik. Kalau harga gabah baik, harga jual petani ke mestinya juga baik. Kalau tidak baik, ada distorsi di lapangan,” ujar Jokowi.

Sebelumnya, Bank Dunia menguraikan sebab petani di Indonesia kurang sejahtera meski harga beras tinggi. Bank Dunia menyatakan salah satu rendahnya produktivitas beras di Indonesia adalah besarnya anggaran untuk pupuk subsidi.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Carolyn Turk, mengatakan bahwa konsumen di Indonesia harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli beras dibandingkan dengan negara lain.

"Konsumen Indonesia telah membayar harga tinggi untuk beras. Harga eceran beras di Indonesia secara konsisten lebih tinggi daripada di negara-negara ASEAN," kata Carolyn Turk dalam Indonesia International Rice Conference 2024, Kamis (19/9).

Di sisi lain, besarnya subsidi pupuk membuat anggaran untuk meningkatkan produktivitas pertanian lainnya menjadi berkurang. Carolyn Turk mendata minimnya produktivitas membuat rata-rata pendapatan petani nasional tumbuh kurang dari 1% per tahun.

Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh minimnya sumber daya pemerintah ke bidang penelitian dan penyuluhan pertanian akibat besarnya subsidi pupuk. "Penelitian dan penyuluhan pertanian biasanya mempunyai keuntungan yang cukup tinggi dalam kaitannya dengan pertumbuhan produktivitas," ujar Carolyn Turk.

Berdasarkan catatan Katadata, nilai subsidi pupuk pada 2016 sampai 2019 konsisten tumbuh. Adapun, anggaran subsidi pupuk pada 2019 menjadi yang tertinggi pada 2005 sampai 2022 atau senilai Rp 34,31 triliun.

Anggaran pupuk tercatat masuk tren penurunan hingga 2022 menjadi Rp 25,28 triliun. Namun, anggaran pupuk subsidi pada tahun ini kembali melonjak menjadi Rp 54 triliun atau setara dengan 9,55 juta ton pupuk.

Turk mengatakan, peningkatan subsidi pupuk tidak menghasilkan pertumbuhan produktivitas para petani. Oleh karena itu, Carolyn Turk menilai pengeluaran di bidang lain selain pupuk menjadi penting untuk menggerek produktivitas petani.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu