Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan orang tua kandung yang mengambil anak secara paksa tanpa hak atau izin dapat dipidana. MK menilai tindakan tersebut termasuk dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ketetapan sanksi berkaitan dengan hubungan orang tua dan anak ini disampaikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 140/PUU-XXI/2023. Perkara tersebut terkait uji materi Pasal 330 ayat (1) KUHP yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Jika pengambilan anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki hak asuh atas putusan pengadilan, dilakukan dengan tanpa sepengetahuan dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh, terlebih dilakukan dengan disertai paksaan atau ancaman paksaan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP,” ucap Arief di Ruang Sidang Pleno MK seperti dikutip Jumat (27/9).
Perkara uji materi ini sebelumnya dimohonkan oleh lima orang ibu, yakni Aelyn Hakim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadarangani. Para pemohon mempersoalkan frasa barang siapa dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP.
Menurut para pemohon, berdasarkan pengalaman pribadi mereka, frasa barang siapa pada pasal dimaksud berpotensi ditafsirkan bahwa ayah atau ibu kandung dari anak tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tuduhan menculik anak kandung sendiri. Kelima pemohon merupakan ibu yang bercerai dan memiliki hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan.
Pada perkembangannya, para pemohon tidak lagi dapat bertemu dengan buah hatinya karena sang ayah diduga membawa kabur anak. Ketika para pemohon melaporkan perbuatan mantan suami ke kepolisian dengan menggunakan Pasal 330 ayat (1) KUHP, laporan mereka tidak diterima ataupun tidak menunjukkan perkembangan dengan alasan yang membawa kabur anak adalah ayah kandungnya sendiri.
Berdasarkan hal itu, para pemohon meminta kepada MK agar frasa barang siapa dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP diganti menjadi “setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak”. Mahkamah menjelaskan, frasa “barang siapa” dalam pasal diuji merupakan padanan kata dari bahasa Belanda hij die yang merujuk kepada siapa saja atau orang yang melakukan perbuatan diancam pidana sehingga mengandung makna setiap orang.
“Dengan demikian, dalam konteks Pasal 330 ayat (1) KUHP, frasa 'barang siapa' dengan sendirinya juga telah mencakup ayah atau ibu kandung anak karena kata tersebut memang mengandung makna setiap orang,” ucap Arief.
Menurut MK, dalam menerapkan Pasal 330 ayat (1) KUHP, harus terdapat bukti bahwa kehendak untuk mengambil anak tanpa seizin orang tua pemegang hak asuh benar-benar datang dari pelaku, termasuk jika pelakunya adalah orang tua kandung anak. Ia menyebut seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP.
Lebih lanjut, MK menilai, Pasal 330 ayat (1) KUHP merupakan ketentuan yang telah diatur secara jelas dan tegas, sehingga ketentuan dimaksud tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain. Menurut Mahkamah, menambahkan pemaknaan baru terhadap Pasal 330 ayat (1) KUHP, termasuk seperti yang dimohonkan para pemohon, justru akan memosisikan norma pasal menjadi berbeda sendiri atau anomali di antara semua norma dalam KUHP yang menggunakan frasa barang siapa.